Mohon tunggu...
Rendy Artha Luvian
Rendy Artha Luvian Mohon Tunggu... Penulis - Staf Diseminasi Informasi Iklim dan Kualitas Udara BMKG, anggota FLP (Forum Lingkar Pena)

Menulis adalah membangun Peradaban

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

Catatan Abdi Dalem (Bagian 16, Nusa) - Ubah Haluan

28 Maret 2024   17:14 Diperbarui: 28 Maret 2024   18:03 59
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: editan penulis sendiri dari bahan di freepik.com

            Suara kokok ayam yang bersahutan membangunkan beberapa orang di tenda dekat karang. Agak dingin di luar, terasa dari udara yang masuk ke dalam tenda melalui celah-celah sempit yang tidak tertutup rapat. Abdi berusaha menaikkan selimut, namun setiap kali ia menariknya ke atas untuk menutup leher, bagian bawah kakinya terbuka. Di samping kanan terlihat gerakan sama dari prajurit Mataram yang ternyata mengigau, "mataram siap...hmm..." tangannya terkepal ke atas.

            Abdi langsung teringat orasi Raden Eru sebelum beliau berangkat ba'da isya kemarin malam, pastilah prajurit ini mengingatnya dalam mimpi. Tak bisa kembali tidur, ia pun memutuskan untuk keluar tenda.

            Masih gelap, agak dingin memang. Abdi memutuskan membawa tasnya dan menuju Mushola untuk bersiap sholat subuh. Amat jarang Abdi terlambat, kebiasaan yang sudah dilatih lama semenjak mereka mulai bekerja di kraton. Sholat subuh tepat pada waktunya adalah salah satu program yang harus dijalankan di sana. Beberapa langkah setelah meninggalkan tenda ia teringat rekan yang selalu menemani ketika berangkat Subuh. Dalem ternyata menghilang dan Abdi belum bertemu dengannya semenjak ia tertidur di mushola. Setelah sholat berjamaah kemarin para prajurit mempersiapkan kapal dan mengangkut barang bawaan yang diperlukan. Total tujuh buah kapal yang berangkat, sisanya sepuluh kapal tinggal di Nusa untuk kemudian langsung kembali ke Pelabuhan Demak sambil mengangkut kuda dari Nusa.

            Setengah perjalanan ke mushola, Abdi baru menyadari ternyata bukan hanya dirinya yang terbangun, tampak dari beberapa tenda keluar pula para prajurit Mataram-Parahiyangan yang, meskipun dingin beberapa dari mereka tidak mengenakan pakaian atas. Memang berbeda sekali antara prajurit dan orang biasa seperti dirinya begitu pikir Abdi. Meskipun, rekannya Dalem kuat jika tidak memakai baju di pagi hari, karena memang badannya yang gemuk dan gempal dapat membantunya menahan rasa dingin.

            Sesampainya di mushola yang paling dekat dengan tenda, ia melihat sejenak ke arah karang tempat dua siluet kapal terlihat, satu dari Pattani, satu lagi dari Malaka. Lama matanya memandang ke arah kedua kapal ini dan setelah sadar dari lamunannya tiba-tiba Abdi mendengar Adzan dikumandangkan, cukup keras, dari mushola di belakang.

            Seusai sholat subuh, Abdi yang berada di shaf terdepan menunggu beberapa orang dari shaf di belakangnya selesai berdzikir kemudian keluar mushola. Harus bergantian memang, karena ternyata meskipun pada gelombang pertama tidak begitu penuh, gelombang kedua sudah menanti dan jumlahnya lebih banyak. Ketika keluar pintu mushola dilihatlah sosok gemuk dan gempal yang sangat dikenalnya, sedang menunggu bersama yang lain untuk memasuki mushola.

            "Lem! Dalem! Weh, dari mana saja kamu?"

            Agak terkejut, Dalem yang sangat mengenali suara itu segera menoleh dan tersenyum lebar,

Baca juga: 40 Hari Dajjal

"Abdi! Ketiduran kemarin aku Di, di sini!" tunjuknya semangat ke mushola di depan.

            Orang-orang memperhatikan mereka berdua.

            Sadar dilihat yang lain, Abdi segera memberi jalan untuk mereka masuk mushola, karena dia dan Imam yang terakhir keluar.

            "Ya udah aku tunggu di sana ya, pojokan itu," Abdi menunjuk tempat dimana ia tadi melamun sambil melihat dua kapal bercorak kekuningan.

            "Iya, iya Di, tak Sholat dulu!" jempol Dalem teracung ke arah Abdi, ia pun bergegas memasuki mushola.

            Matahari belum menunjukkan kilaunya, suasana begitu khusyuk di beberapa mushola Pelabuhan Nusa. Sedikit yang mengerjakan Sholat Subuh di tenda masing-masing, hanya karena tugas menjaga barang-barang di tenda dan beberapa memang, karena malas. Sementara itu terlihat dua orang asyik mengobrol sambil sesekali memandang ke arah karang.

            "Cepat juga ya Di respon Raden Eru, malam tadi langsung berangkat ke lokasi."

            "Iyalah Lem! Alhamdulillah ada beliau di sini. Memangnya dikau gak ikut sholat Asahar berjamaah? Masih ketiduran ya di mushola pas Ashar? Hehe..."

            "Hush! Enak aja, aku udah kebangun pas siang, bau sate soalnya.. hmmm..."

            "Hoalaahh, kamu ikut makan berarti ya?"

            "Iyalah! Masak sate domba dilewatkan, laper banget waktu itu aku Di!"

            "Hahaha, untung kamu bangun Lem, rugi kalau enggak!"

            "Pas Ashar aku di depan sendiri ya, wong aku ikut nyiapin shaf-shaf nya!"

            "Wah, berarti ketemu dong sama Raden Eru, weh, ceritain dong Lem."

            "Naah, itu dia Di.. kan waktu itu Raden Eru ketemu dengan para pedagang Parahiyangan yang bareng dengan kita di sekoci tujuh, delapan, dan sembilan. Beberapa diantara mereka ada di shaf terdepan."

            "Yang jadi Imam Aa Yan ya?"

            "Yup betul sekali, beliau yang mengimami. Raden Eru sholat pas di belakangnya."

            "Wiih, masih inget aku Lem kata-kata beliau, pingin ikut nyelametin Kapten Sudirman rasanya..."

            "Sama Di, prajurit Mataram aja habis itu kerjanya semangat bener. Itu, pas persiapan sehabis Ashar. Aku ikut bantu juga!"

            "Pantesan, aku cariin kemana-mana gak ketemu. Aku juga ikut bantu kok Lem, tapi di ujung, kapal tiga belas, empat belas, dan lima belas."

            "Walaaah, ya gak bakalan ketemu kita Di, wong aku di kapal satu, dua, tiga sama kapal tujuh belas milik Raden Eru yang berlabuh disebelah kapal nomor satu."

            "Hooo, iya-iya Lem. Trus sempet ketemu gak sama Raden Eru? Aneh juga ya yang berangkat kapal nomor awal dan nomor terakhir"

            "Ketemu Di.. Loh kamu gak tahu Di, kapal terbaik itu ditempatkan di paling depan dan paling belakang. Nah, kapal satu, dua, tiga, tiga belas,empat belas, dan kapal lima belas itu kapal perang terbaik Mataram, yang mimpin Raden Eru sendiri!"

            "Waah, hebat ya Lem, aku baru tahu, yang ngasih tahu Raden Eru ya?"

            "Bukan lah, prajurit-prajurit yang ada di sana. Kalau Raden Eru beda lagi..." kali ini Dalem mengambil dari kantongnya segepok kantong uang.

            "Heh, yang bener kamu Lem!?" ucap Abdi tak percaya.

            "Semua penumpang kapal dagang kita dapat kok, gitu kata beliau. Tapi untuk para pedagang akan diberikan nanti setibanya mereka di Demak."

            "Alhamdulillah, berarti kamu ketemu beliau langsung kan? Makanya beliau langsung ngasih uang itu.. atau..." Abdi terlihat berpikir.

            "Iyalah Di, beliau hanya berpesan jangan berhenti mengejar mimpi kita dan beliau selalu menunggu di Kraton kalau ada apa-apa."

            "Hah, lalu pesan apa lagi yang beliau sampaikan Lem?"

            "Hmm. Seingatku sih itu aja Di, habis itu beliau sibuk berbicara dengan kapten-kapten kapal. Mmm, ngatur strategi mungkin..."

            "Hoo, pastilah itu Lem."

            "Baru sabtu besok kan kita bisa ikut sisa 10 kapal untuk kembali ke Demak?"

            "Iya, bareng Aa yan, dan beberapa ribu kuda sih.. semoga gak tidur bareng kuda Di."

            "Hahaha, oh iya, lupa aku Lem..."

            "Tapi sepertinya kok ada pesan dari Raden Eru buat kita ya Lem. Atau hanya perasaanku aja ya? ..Jangan berhenti mengejar mimpi.. hmm..." sesaat keduanya terdiam dan berpikir.

            Raden Eru memang terburu-buru dan tak sempat berbicara banyak dengan mereka, namun beliau lah satu-satunya alasan Abdi dan Dalem bisa bepergian dengan bebas ke Samudera dan Buton. Belajar Islam dan budaya nusantara merupakan impian para pemuda terutama bagi mereka yang haus akan ilmu pengetahuan dan petualangan. Sesaat keduanya sama-sama memandang ke arah karang, tempat semburat kekuningan mulai muncul memenuhi cakrawala.

            "Kalau pulang entah kapan lagi kita bisa pergi Di," ucap Dalem tiba-tiba. Sinar mentari pun mulai menerangi Pelabuhan Nusa, warna-warna kapal mulai tampak menghiasi pelabuhan.

            "Hmm.. itu warna kapalnya kuning ya Di, atau karena sinar matahari?" tanya Dalem.

            "Eh.. itu kapal Malaka Lem."

            "Wah, sudah lama ya Di denger Malaka tapi baru bisa lihat kapalnya sekarang..."

            Abdi lama memandang kedua kapal di ujung karang. Hening beberapa saat, lalu ia berpaling ke arah Dalem, yang menatapnya juga. Senyuman penuh aroma petualangan menghiasi bibir keduanya. Paham maksud satu dengan yang lain, mereka berdua menikmati awal hari ini dengan deru angin dan siraman mentari yang semakin terang. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun