Mohon tunggu...
Wachid Hamdan
Wachid Hamdan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Sejarah, Kadang Gemar Berimajinasi

Hanya orang biasa yang menekuni dan menikmati hidup dengan santai. Hobi menulis dan bermain musik. Menulis adalah melepaskan lelah dan penat, bermusik adalah pemanis saat menulis kehidupan.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Meski Mata Tiada, Disabilitas Netra Tetap Bisa Berkontribusi Nyata di Desa!

25 April 2024   08:00 Diperbarui: 26 April 2024   12:58 202
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Santri mengikuti kegiatan belajar mengajar saat bulan puasa di Yayasan Raudlatul Makfufin, Tangerang Selatan, Rabu (21/4/2021).Yayasan Raudlatul Makfu

Sebagai manusia dengan ketidaksempurnaan, tentu banyak hal yang harus saya pahami. Sebab sejak tahun 2020 kondisi mata saya menunjukkan penurunan signifikan. Yups! Saya merupakan disabilitas netra yang hidup di pedesaan. Hal tersebut tentunya membuat keseharian saya ndak mudah. Banyak rintangan dan absurditas yang saya alami.

Kalo ngomong soal masyarakat desa, tentunya akan lekat dengan kebiasaan gotong royong, kumpulan pemuda, remaja masjid, dan berbagai aktivitas khas ndeso lainnya. Bahkan juga soal style, kecenderungan nongkrong, dan cara bersosialisasi yang tentu beda jauh dengan masyarakat kota. Kalau di kota kita diem, ndak saling kenal, ato ndak nyapa itu biasa, di desa bila seperti itu akan jadi masalah. Endingnya akan jadi bahan gunjingan grup ibu-ibu di saat beli sayur di abang sayur pojok desa.

Nah, hal itu kadang jadi dilema tersendiri bagi saya. Udah jalan susah, termasuk kaum minoritas, dan minimnya pengalaman sebagai disabilitas netra tentu menjadi tantangan yang tidak berhadiah bagi saya. Mau nimbrung kadang ndak direspon, ndak nimbrung jadi bahan omon-omon. Arrggh! Serba salah deh. Jadi, intinya pokok'e bermasyarakat di desa harus serawung "Bersosialisasi." Bagaimana semua hal itu saya lewati? Mungkin ini sedikit yang bisa saya ceritakan.

Dipandang Kasihan, Dipingirkan, dan Sulit Berkontribusi

Persoalan pertama yang saya alami adalah perbedaan perilaku saat sebelum maupun sesudah saya menjadi buta. Waktu itu, saya cukup mendapatkan respek baik, ajakan, dan saran untuk berkarya nyata di desa. Tetapi pas udah menjadi disabilitas netra (Buta), semua hal itu menghilang bagai kita menulis di atas pasir pantai lalu tersapu ombak. Galau, pusing, merana, dan serasa asing sontak menjadi perasaan yang tiap hari saya telan, hiks, hiks, hiks. Banyak versi yang saya simpulkan dari fenomena itu. Mulai dari yang kasihan, merendahkan, menyingkirkan, dan ada juga yang merasa kalau kebutaan saya itu, juga menyebapkan saya tidak bisa apa-apa.

"Wachid itu sekarang aja jalan susah. Gimana ia bisa bermasyarakat?"

"Tiap melangkah juga kadang nabrak. Ntar itu gimana ia bisa berkerja, berkeluarga, dan punya anak?" timpal yang lain.

Ungkapan di atas hanya segelintir yang saya dengar dari laporan keluarga. Banyak masyarakat yang masih memiliki sudut pandang pendek. Mereka hanya mengukur dari hal yang terlihat, tanpa mau bertanya langsung kepada yang terkait. Tapi saya menyikapi hal itu dengan tidak ambil pusing. Karena saya lebih memikirkan cara untuk bertahan dari semua rintangan yang kini nyata di hadapan saya. Daripada mikir omongan mereka yang bikin saya pengen berantem sama pohon pisang.

Indra yang Tersisa adalah Mata bagi Disabilitas Netra

Semenjak mata yang tidak mampu menerima informasi duniawi, saya kini memfokuskan indra lain. Pendengar, penciuman, pengecap, peraba, dan perasaan saya latih untuk memiliki kepekaan lebih. Semua itu saya lakukan untuk menjawab tantangan di masyarakat. Saya tunjukan kalau saya juga bisa melakukan apa yang mereka lakukan, tentu dengan cara saya sendiri. Karena menuju Roma itu banyak caranya.

Menjawab keraguan dan pemikiran negatif masyarakat tentu saya lakukan tidak dengan bantahan. Saya lebih memikirkan solusi atas permasalahan yang ditimbulkan oleh tidak berfungsinya lagi indra mata. Cara berjalan, berkomunikasi, bersosialisasi, dan berkerja, terus saya cari alternatif agar bisa saya jalani dengan nyaman.

Seperti menempuh pendidikan yang kini bisa saya jalani dengan lancar. Dengan segala kuasa Allah, saya diberi intuisi tajam untuk terus berpikir mencari solusi. Di bangku pendidikan saya menggunakan media perekam, laptop yang sudah terinstal aplikasi pembaca layar, danberbagai cara lain, nyatanya bisa saya tempuh dengan lancar. Tentu proses itu tidak mudah, karena sindiran tetap tidak berhenti.

"Wachid itu terlalu bergaya. Udah tahu cacat masih sok-sok'an kuliah. Mending ia ikut kerja di cuci piring warung pecelele, yang jelas lebih menghasilkan uang," nyinyir salah satu tetangga.

"Wachid itu kuliahnya jelas di kampus khusus orang cacat," sahut yang lain.

Entah apa yang ada di benak masyarakat budiman itu. Padahal mereka tahu saya berkuliah di UIN Sunan Kalijaga yang jelas di sana mayoritas adalah mahasiswa non-disabilitas. Kok bisa hanya demi kompak ngobrol, mereka membuat informasi hoax yang tidak berdasar. Mengetahui hal itu pun saya tidak peduli, saya hanya fokus untuk menggapai cita-cita yang kini saya perjuangkan. Karena saya tahu masih ada indra lain yang bisa menggantikan peran mata saya yang kini tidak berfungsi.

Berorganisasi, Berkesenian, dan Menulis adalah Caraku Berkontribusi

Segala kepenatan dan kemustahilan yang dimunculkan masyarakat atas diri saya pribadi, perlahan saya jawab dengan kapasitas yang bisa saya tunjukan di mata mereka yang normal. Saya berani muncul di tengah-tengah mereka dengan karya  yang saya miliki. Saya membuktikan semua kemustahilan yang mereka yakini. Mulai bersekolah, berkerja, dan memiliki jaringan profesional dari orang-orang luar desa.

Setelah mengetahui beberapa karya saya, masyarakat pun seolah berhenti menggunjingkan kekurangan saya. Artikel, cerpen, pementasan grup hadrah saya, dan fakta kalau saya terkadang menjadi imam rombongan ziarah wali, sedikit meredam pandangan buruk masyarakat. Tetapi celah untuk berkontribusi di dusun sampai hari ini baru sebatas membantu acara tahlil, ngisi hadrah, dan melatih hadrah. Belum maksimal sih. Tapisetidaknya saya bisa menjalankan pengabdian di masyarakat dengan cara sendiri. Bukan dengan pandangan mereka yang hanya bisa omong, tapi tidak pernah bisa menjalani.

"Wah,berarti Mas Wachid itu pintar ya. Nyatanya ia punya tulisan di internet, grup hadrahnya bagus, dan ia tetap kuat meski banyak yang merendahkan," ujar bakul angkringan depan masjid dusun saya.

"Ampuh anak itu. Ndak semua orang bisa setahan Wachid. Murah senyum, konyol, dan santai banget wong'e berjalan ke sini," sahut bapak yang lain.

"Meski pake tongkat, nyatanya ia ndak nyasar. Coba kamu, Kang. Jalan merem terus pake tongkat ke sini. Yakin deh, pasti nabrak tiang listrik," Klakar yang lain sambil menunjuk bakul angkringan.

Evaluasi Pribadi Bersama Secangkir Kopi

Kekonyolan, kejengkelan, dan kerumitan perlahan bisa saya urai. Pengabdian masyarakat nyatanya bisa saya lakoni sesuai kapasitas saya. Tidak berusaha sok-sok'an untuk dipandang baik. Proses natural, terus menggali potensi, dan menerima kondisi menjadi kunci langkah saya bersama tongkat putih. Semula masyarakat ragu, kini saya ambil "Ragu," itu jadi lecutan untuk meningkatkan kualitas. Bukan  merutuki nasib, tapi terus fokus membenahi nasib.

Semua itu pasti ada jalannya. Saya yakin sekali, kalau kita memang mau berubah, pasti tangan Tuhan akan membantu. Mengapa begitu? Karena kita bisa mencapai jarak 10 meter, kita harus melangkah satu meter dahulu. Ungkapan buruk orang yang menyasar pada kita, sebenarnya itu hanyalah cara mereka untuk dipandang lebih baik dari kita. Meski caranya mereka harus membuat kita rendah, agar mereka tinggi.

Saya berpedoman, bila dipandang baik, itu memang pandangan layak kepada kita. Tentu dengan dasar kualitas, kapasitas, dan bukti realitas. Terus saja fokus, sabar, disiplin, dan abaikan rentetan celoteh buruk orang. Kita adalah kita. Bukan orang lain. Jadi jangan terpengaruh omongan negatif orang. Tetap semangat, meski itu harus menguras air mata, emosi, darah, dan nyawa. Karena mati sebagai pejuang lebih terhormat. Daripada mati sebagai penjilat dan pecundang.

"Salam penempuh jalan terang!"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun