"Wachid itu terlalu bergaya. Udah tahu cacat masih sok-sok'an kuliah. Mending ia ikut kerja di cuci piring warung pecelele, yang jelas lebih menghasilkan uang," nyinyir salah satu tetangga.
"Wachid itu kuliahnya jelas di kampus khusus orang cacat," sahut yang lain.
Entah apa yang ada di benak masyarakat budiman itu. Padahal mereka tahu saya berkuliah di UIN Sunan Kalijaga yang jelas di sana mayoritas adalah mahasiswa non-disabilitas. Kok bisa hanya demi kompak ngobrol, mereka membuat informasi hoax yang tidak berdasar. Mengetahui hal itu pun saya tidak peduli, saya hanya fokus untuk menggapai cita-cita yang kini saya perjuangkan. Karena saya tahu masih ada indra lain yang bisa menggantikan peran mata saya yang kini tidak berfungsi.
Berorganisasi, Berkesenian, dan Menulis adalah Caraku Berkontribusi
Segala kepenatan dan kemustahilan yang dimunculkan masyarakat atas diri saya pribadi, perlahan saya jawab dengan kapasitas yang bisa saya tunjukan di mata mereka yang normal. Saya berani muncul di tengah-tengah mereka dengan karya  yang saya miliki. Saya membuktikan semua kemustahilan yang mereka yakini. Mulai bersekolah, berkerja, dan memiliki jaringan profesional dari orang-orang luar desa.
Setelah mengetahui beberapa karya saya, masyarakat pun seolah berhenti menggunjingkan kekurangan saya. Artikel, cerpen, pementasan grup hadrah saya, dan fakta kalau saya terkadang menjadi imam rombongan ziarah wali, sedikit meredam pandangan buruk masyarakat. Tetapi celah untuk berkontribusi di dusun sampai hari ini baru sebatas membantu acara tahlil, ngisi hadrah, dan melatih hadrah. Belum maksimal sih. Tapisetidaknya saya bisa menjalankan pengabdian di masyarakat dengan cara sendiri. Bukan dengan pandangan mereka yang hanya bisa omong, tapi tidak pernah bisa menjalani.
"Wah,berarti Mas Wachid itu pintar ya. Nyatanya ia punya tulisan di internet, grup hadrahnya bagus, dan ia tetap kuat meski banyak yang merendahkan," ujar bakul angkringan depan masjid dusun saya.
"Ampuh anak itu. Ndak semua orang bisa setahan Wachid. Murah senyum, konyol, dan santai banget wong'e berjalan ke sini," sahut bapak yang lain.
"Meski pake tongkat, nyatanya ia ndak nyasar. Coba kamu, Kang. Jalan merem terus pake tongkat ke sini. Yakin deh, pasti nabrak tiang listrik," Klakar yang lain sambil menunjuk bakul angkringan.
Evaluasi Pribadi Bersama Secangkir Kopi
Kekonyolan, kejengkelan, dan kerumitan perlahan bisa saya urai. Pengabdian masyarakat nyatanya bisa saya lakoni sesuai kapasitas saya. Tidak berusaha sok-sok'an untuk dipandang baik. Proses natural, terus menggali potensi, dan menerima kondisi menjadi kunci langkah saya bersama tongkat putih. Semula masyarakat ragu, kini saya ambil "Ragu," itu jadi lecutan untuk meningkatkan kualitas. Bukan  merutuki nasib, tapi terus fokus membenahi nasib.
Semua itu pasti ada jalannya. Saya yakin sekali, kalau kita memang mau berubah, pasti tangan Tuhan akan membantu. Mengapa begitu? Karena kita bisa mencapai jarak 10 meter, kita harus melangkah satu meter dahulu. Ungkapan buruk orang yang menyasar pada kita, sebenarnya itu hanyalah cara mereka untuk dipandang lebih baik dari kita. Meski caranya mereka harus membuat kita rendah, agar mereka tinggi.
Saya berpedoman, bila dipandang baik, itu memang pandangan layak kepada kita. Tentu dengan dasar kualitas, kapasitas, dan bukti realitas. Terus saja fokus, sabar, disiplin, dan abaikan rentetan celoteh buruk orang. Kita adalah kita. Bukan orang lain. Jadi jangan terpengaruh omongan negatif orang. Tetap semangat, meski itu harus menguras air mata, emosi, darah, dan nyawa. Karena mati sebagai pejuang lebih terhormat. Daripada mati sebagai penjilat dan pecundang.
"Salam penempuh jalan terang!"