Mohon tunggu...
Herlina Fransiska Gadi Gaa
Herlina Fransiska Gadi Gaa Mohon Tunggu... Perawat - Mahasiswa Unair

Membaca

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Kekerasan di Sekolah dan Pengguatan Kemitraan Tri Pusat Pendidikan

20 April 2024   22:08 Diperbarui: 20 April 2024   22:16 55
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Kekerasan di Sekolah dan Penguatan Kemitraan Tri Pusat Pendidikan

Membaca dan mencermati informasi kekerasan di media massa, entah media cetak maupun elektronik, juga media daring yang terjadi di dunia pendidikan, hati kecil kita masing-masing ikut prihatin bahkan berempati terhadap para korban. Banyak orang tentu mengutuk keras tindakan-tindakan tersebut karena sangat mengganggu keadaan psikis atau kejiwaan para korban. Oleh karenanya, pengawalan dan pencegahan kekerasan di lembaga pendidikan mesti dilakukan secara tersistem agar ke depannya tidak terulang kembali.

Kekerasan di lembaga pendidikan teridentifikasi berupa kekerasan psikis, fisik, seksual juga bullying. Tim Sudah Dong dalam buku Panduan Antibullying untuk Pendamping Siswa (2022:7) menyebutkan 4 (empat) jenis bullying yang mesti diketahui dan dipahami. Pertama, bullying fisik. Jenis ini berupa pemukulan, menendang, menampar, meludahi atau segala bentuk kekerasan yang melukai fisik secara langsung termasuk penindasan secara asusila. Kedua, bullying verbal. Jenis bullying ini termanifestasi dalam bentuk celaan, fitnah, atau penggunaan kata-kata yang tidak baik yang menyakiti perasaan orang lain.

Ketiga,  bullying relasional. Bullying jenis ini mencakup pengabaian, pengucilan, cibiran, dan segala bentuk tindakan untuk mengasingkan seseorang dari komunitasnya. Keempat, cyber bullying. Jenis ini mencakup segala bentuk tindakan yang dapat menyakiti orang lain dengan sarana media elektronik berupa rekaman video intimidasi maupun pencemaran nama baik melalui media sosial. Keempat jenis bullying ini, semata-mata dilakukan untuk menyakiti korban yang ritmenya dilakukan berulang-ulang sehingga menyebabkan korban mengalami tekanan bahkan dapat memakan korban jiwa.

Beberapa jenis kekerasan di atas, sesungguhnya masih dan akan terus terjadi, apabila semua pihak tidak membangun kesadaran, baik secara internal maupun eksternal, secara personal maupun komunal untuk meminimalisir bahkan menggalang gerakan zero kekerasan. Sejalan dengan itu, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) pada 2023 silam pernah menyerukan gerakan zero kekerasan terhadap anak (https://www.kompas.id/baca/humaniora/2024/01/24/). KPAI lantas merekomendasikan pencanangan Gerakan Zero Kekerasan pada Anak demi mewujudkan zero kekerasan di tahun 2045.

Meski demikian, Yayasan Cahaya Guru pernah merilis 136 kasus kekerasan yang terjadi sepanjang tahun 2023 dengan lokus satuan pendidikan. Kasus-kasus ini terekam melalui pemberitaan media massa dengan korbannya berjumlah 339 orang dari total pelaku kekerasan 134 orang, sedangkan korban yang meninggal dunia berjumlah 19 orang. Berdasarkan data ini, kasus yang menempati urutan teratas atau paling banyak terjadi adalah perundungan dan kekerasan seksual (https://www.kompas.id/baca/humaniora/2023/12/16/). Sebuah kondisi yang jika tidak segera diantisipasi, maka akan menjadi ancaman serius ke depan.

Sementara itu, kasus kekerasan terhadap anak yang dilaporkan oleh KPAI sepanjang tahun 2024 berjumlah 141 kasus, dimana 35% dari total kasus terjadi di lingkungan sekolah atau satuan pendidikan (https://metro.tempo.co/read/1844009/). Kekerasan yang terjadi cenderung mengakibatkan anak mengalami penderitaan secara fisik maupun psikis, bahkan mendatangkan trauma yang berkepanjangan bahkan meninggal dunia. Total kasus anak yang dinyatakan mengakhiri hidupnya berjumlah 46 kasus. Mirisnya, dari total kasus, 48% terjadi di satuan pendidikan.

Merujuk pada data di atas, maka dapat dipastikan bahwa pelaku kekerasan adalah guru, tenaga kependidikan juga sesama siswa. Namun, belakangan ini, guru juga mengalami kekerasan, baik secara verbal maupun secara fisik. Kejadian terbaru dialami seorang guru SMA Negeri 1 Nubatukan, Kabupaten Lembata, Provinsi NTT (https://suluhnusa.com/hukum/20240309/). Ia menjadi korban pengeroyokan keluarga siswa, hanya karena guru menepuk bahu kiri siswanya ketika siswa menggerutu dan megucapkan kata-kata sinis saat kelengkapan catatan diperiksa.

Sialnya, tepukan pada pundak kiri siswa yang bertujuan mengingatkan, justru mendatangkan kekerasan verbal dan fisik bagi sang guru. Orang tua dan saudara siswa datang ke sekolah dan tanpa mengikuti prosedur penyelesaian masalah, mereka langsung main hakim sendiri. Kedua pelaku menyerobot masuk ke dalam ruang kelas dan melakukan pengeroyokan terhadap guru yang diduga melakukan kekerasan kepada anak mereka. Pengeroyokan terhadap guru SMA Negeri 1 Nubatukan ini, sekarang sudah ditangani Kejaksaan Negeri Lembata.

Penguatan Tri Pusat Pendidikan

Menengok kekerasan yang dialami siswa dan guru di sekolah, maka diperlukan penguatan sistem kerja sama antara lembaga-lembaga terkait seperti keluarga, sekolah dan masyarakat. Fudyartanta dalam Buku Ketaman Siswaan (1990) sebagaimana dikutip Silmi Nurul Utami dalam tulisannya di kompas.com berjudul Tiga Lingkungan Tri Pusat Pendidikan mengatakan bahwa Tri Pusat Pendidikan meliputi pendidikan di lingkungan keluarga, pendidikan di lingkungan perguruan atau sekolah, dan pendidikan di lingkungan masyarakat atau pemuda (https://www.kompas.com/skola/read/2021/12/27/185046269/).

Senada dengan itu, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, sebagaimana dikutip Annisa Firda Yulizha et.al., (2023) menegaskan kembali bahwa pendidikan mencakup tiga jenis yakni pendidikan di rumah, pendidikan di sekolah, dan pendidikan masyarakat. Sekolah mencakup di dalamnya guru, kepala sekolah, pegawai dan siswa; keluarga yakni orang tua mencakup keluarga inti dan keluarga besar; sedangkan masyarakat mencakup komite sekolah dan organisasi profesi.

Ketiga lembaga ini memiliki peran strategis sesuai porsinya masing-masing.  Moh. Yamin dalam bukunya Menggugat Pendidikan Indonesia (2009) juga menggarisbawahi peran Tri Pusat Pendidikan. Pertama, keluarga memiliki peran yang amat penting dalam pembentukan karakter anak. Albert Maria Rua dalam bukunya Mendidik Anak Gimana Sih Caranya (2003:8-9) mengatakan bahwa orang tua memiliki peran sebagai pendidik pertama dan utama bagi anak. Peran orang tua tidak dapat digantikan oleh orang lain termasuk guru di sekolah.

Dengan demikian, orang tua memiliki kewajiban yang amat berat untuk mendidik anak-anaknya, karena mendidik anak adalah hak primer atau hak pertama dari orang tua. Tugas orang tua dalam mendidik menyangkut beberapa hal pokok yakni pendidikan fisik, sosial, kultural, serta moral dan religius. Kesehatan fisik dan gizi pasti sangat berdampak kecerdasan dan daya tahan tubuh anak. Selain itu, mendidik anak untuk hidup bermasyarakat, menjaga etika sopan santun, juga mendidik anak untuk memiliki prioritas nilai juga hal-hal yang bersifat spiritual religius.

Kedua, sekolah merupakan pusat pembelajaran formal di mana siswa memperoleh pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai yang penting untuk sukses dalam kehidupan. Guru, sebagai pemimpin pendidikan di dalam kelas, memainkan peran penting dalam memberikan pengajaran yang inspiratif dan memotivasi. Namun, untuk mencapai kesuksesan yang sebenarnya, kolaborasi antara guru, siswa, dan orang tua adalah kunci. Sekolah juga harus menciptakan lingkungan yang inklusif dan beragam, memastikan bahwa setiap siswa merasa didengar, dihargai dan didukung.

Ketiga, peran masyarakat dalam kemitraan Tri Pusat Pendidikan juga sangat penting. Masyarakat adalah tempat di mana siswa berinteraksi dengan berbagai macam orang dan pengalaman, yang dapat melengkapi pembelajaran yang terjadi di sekolah. Melalui dukungan masyarakat, baik itu dalam bentuk program sukarela, sponsor atau kesempatan belajar di luar sekolah, siswa dapat mengembangkan minat, bakat, dan keterampilan yang mungkin tidak terpenuhi di lingkungan kelas. Anak-anak tidak hanya dididik untuk menerima perbedaan, tetapi lebih dari itu mencintai perbedaan yang ada.

Lembaga-lembaga tersebut di atas, memiliki sifat, fungsi serta peran masing-masing dalam pengelolaan pendidikan. Oleh karenanya, Ghazali Bagus Ani Putra (2017) sebagaimana dikutip Suranto Aw dan Chatia Hastasari (2018) meyakini bahwa sistem komunikasi Tri Pusat Pendidikan dapat menjadi solusi atas maraknya fenomena perilaku amoral yang melibatkan pelajar sebagai pelakunya seperti seks pra-nikah, video porno, penyalahgunaan obat terlarang dan minuman keras, tawuran, termasuk kekerasan dan penghinaan terhadap guru.

Pengintegrasian Tri Pusat Pendidikan ke dalam pendidikan mesti ditinjau kembali dan diperkuat sistem kerjanya. Dengan begitu, pelaksanaan pendidikan akan menjadi lebih menyeluruh dan efektif dalam membentuk individu yang berkualitas dan masyarakat yang maju. Oleh karenanya, setiap elemen dalam Tri Pusat Pendidikan hendaknya saling melengkapi dan memperkuat satu sama lain, demi menciptakan lingkungan pendidikan yang inklusif, aman, ramah dan berdaya saing.

Kolaborasi yang erat antara sekolah, keluarga dan masyarakat akan sangat membantu menciptakan lingkungan pendidikan yang optimal bagi perkembangan anak-anak. Maka, pencegahan kekerasan dan penanganan masalah atau kasus yang terjadinya di sekolah mesti dilihat sebagai masalah bersama. Oleh karenanya, dibutuhkan kelapangan dan keterbukaan hati untuk menerima persoalan yang dialami anak dan guru di sekolah sembari mencari jalan keluar penyelesaian bersama. (*)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun