Mohon tunggu...
Agus Sutisna
Agus Sutisna Mohon Tunggu... Dosen - Lecturer I Researcher IInstagram : @kiagussutisna

Dosen | Pegiat Sosial | Menulis berharap ridho Allah dan manfaat bagi sesama.

Selanjutnya

Tutup

Analisis Artikel Utama

Surat Terbuka dan Amicus Curiae Megawati

16 April 2024   11:10 Diperbarui: 19 April 2024   08:35 497
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sekretaris Jenderal PDI-P Hasto Kristiyanto menunjukkan tulisan tangan Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri yang tertoreh pada surat amicus curiae dan diserahkan ke Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa (16/4/2024). Foto: KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO

Dalam kerangka etik itu, maka persoalan yang berkaitan dengan keselamatan seluruh bangsa dan negara berada di pundak presiden. Presiden berdiri untuk semua. Segala kesan yang menunjukkan bahwa presiden memperjuangkan kepentingan sendiri atau keluarganya adalah fatal. Sebab presiden adalah milik semua rakyat Indonesia.

Ironisnya kesan yang disinggung Megawati itu justru yang terjadi, bahkan dengan cara menabrak etik. Demi kepentingan pribadi dan keluarganya, Presiden diduga terlibat, setidaknya membiarkan pelanggaran etik itu berlangsung, bahkan dimulai sejak --dan menjadi tonggak-- awal perhelatan Pilpres.

Dari situlah dugaan kecurangan Pilpres berawal dan berevolusi di kemudian hari. Kecurangan itu tidak terjadi secara tiba-tiba. Dan Megawati berharap, dengan kewenangan yang dimilikinya, para hakim konstitusi dapat membedah sumber kegaduhan dan kecurangan itu, serta memberikan putusan yang obyektif dan berkeadilan.  

Tanggung Jawab “Delapan Dewa”

Akhirnya, terhadap pelanggaran etik dan berbagai dugaan kecurangan yang terjadi di sepanjang perhelatan Pilpres, secara lugas Megawati meminta agar para hakim konstitusi berani menunjukan sikap kenegarawanannya sebagai upaya pemulihan etika dan moral politik-hukum yang sakit.

Karena tanpa sikap kenegarawanan itu, Mahkamah Konstitusi hanya menjadi jalan pembenaran bagi sengketa Pilpres yang orientasinya hanya pada hasil, tanpa melihat secara jernih dan utuh bagaimana proses perhelatan Pilpres berlangsung.   

Belajar dari putusan perkara Nomor 90 yang kontroversial, Megawati mendorong para hakim konstitusi agar sadar dan insaf untuk tidak mengulangi hal tersebut. Tanpa landasan etika, moral, dan keteladanan pemimpin, manipulasi hukum menjadi semakin mudah dilakukan.

Dengan kesadaran dan keinsafan itu, sebelum mengakhiri suratnya Megawati menulis:

“…sebagai anak bangsa, saya berdoa semoga dengan izin Allah SWT, kita pun rakyat Indonesia akan melihat cahaya terang demokrasi ketika ”Sembilan Dewa” di MK memberikan keputusan yang berkeadilan, berwibawa, dan terutama dengan hati nuraninya.”

“Ingat, nama-nama para hakim Mahkamah Konstitusi akan tertulis dalam sejarah Republik Indonesia, baik maupun buruk. Semoga!!” pungkas Megawati, mengingatkan para hakim konstitusi.

Catatan: “Sembilan Dewa” yang dimaksud Megawati dalam artikel opininya itu maksudnya tentu “Delapan Hakim MK”. Karena Anwar Usman dilarang Majelis Kehormatan MK terlibat dalam memeriksa dan mengadili sengketa Pilpres.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun