Mohon tunggu...
Sunan Amiruddin D Falah
Sunan Amiruddin D Falah Mohon Tunggu... Administrasi - Staf Administrasi

NEOLOGISME

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Seragam Sekolah dan Filosofi Polisi Berpakaian Preman dalam Kelirumologi

24 April 2024   09:01 Diperbarui: 24 April 2024   09:11 79
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: Tangkapan layar instagram Kemendikbud Ristek/kompas.com

Penggunaan seragam sekolah seharusnya tidak perlu dihapus, diubah atau diganti karena melalui atribut seragam sekolah identitas siswa-siswi dapat dikenali sebagai pembeda dari setiap sekolah.

Selain itu, seragam sekolah bisa juga menjadi pembeda dari setiap jenjang pendidikan mulai dari tingkat Taman Kanak-Kanak (TK), Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP) hingga Sekolah Menengah Atas/Umum (SMA/SMU). 

Pembeda itu kemudian dapat jadi petunjuk bagi para pemangku pendidikan dan masyarakat secara keseluruhan dalam menyikapi atau merespon siswa-siswi yang kedapatan berulah atau memiliki masalah di luar sekolah terutama pada jam belajar atau kedapatan masih kelayapan di luar rumah dengan seragam di luar jam sekolah. 

Selama ini, penggunaan seragam sekolah di luar jam pelajaran sekolah di luar lingkungan sekolah atau di luar jam belajar tapi keberadaan pelajar masih tampak di luar rumah, telah turut dipantau atau diawasi oleh para pemangku pendidikan dan masyarakat umum. 

Oleh karenanya, bila seragam sekolah dihapus, diubah atau diganti, terlebih dengan seragam yang tidak menunjukkan identitas pelajar sekolah, maka keikutsertaan para pemangku pendidikan dan masyarakat dalam membantu mengawasi atau memantau untuk menyikapi atau merespon  pelajar atau siswa-siswi di luar sekolah pada jam belajar atau di luar jam sekolah tapi masih kelihatan di luar rumah dengan seragam sekolahnya--terkendala oleh pakaian yang tidak bisa lagi teridentifikasi. 

Salah satu isu penghapusan, perubahan atau pergantian atas penggunaan seragam sekolah diduga akibat dari mahalnya seragam sekolah karena banyak orangtua merasa terbebani dengan mahalnya biaya yang dikeluarkan untuk seragam sekolah. 

Tetapi penghapusan, perubahan atau pergantian seragam sekolah ke pakaian bebas untuk merujuk pada pakaian sehari-hari yang bisa digunakan sebagai seragam sekolah demi menghemat pengeluaran biaya tambahan seragam sekolah, ibarat polisi yang tengah menyamar, bertugas atau berdinas tanpa seragam kepolisian dan disebut sebagai polisi berpakaian preman. 

Entah siapa, sejak kapan dan bagaimana cara mengetahui seorang polisi yang sedang bertugas atau berdinas tanpa seragam kepolisian diidentifikasi sebagai polisi berpakaian preman? 

Kata preman itu sendiri diartikan sebagai seseorang atau sekelompok orang yang kerap mempraktikkan intimidasi, kekerasan, pemerasan kepada orang lain untuk mendapatkan keuntungan ekonomi. Sementara makna tersebut tidak sedikitpun menyinggung jenis pakaian yang dikenakan. 

Bukankah yang identik dengan sebutan preman bisa memakai jenis pakaian apa saja, tidak terfokus pada jenis pakaian tertentu apalagi berseragam. 

Sosok preman bisa saja menggunakan kemeja, kaos, rompi, batik, jas, tuksedo, jaket, celana bahan, jeans, corduroy atau kombinasi pakaian atasan dan bawahan jenis apapun lengkap dengan aksesoris apapun. 

Namun yang bukan preman pun bisa berpakaian dengan gaya yang sama, lantas bagaimana cara membedakan mana preman dan mana yang bukan preman dari pakaian yang dikenakan? 

Maka berdasar paparan logis tersebut, narasi polisi berpakaian preman adalah kelirumologi yang luar biasa tingkat kelirunya dalam perbendaharaan kosakata Bahasa Indonesia, terutama dalam penggunaannya. Kelirumologi itulah yang berikutnya menjadi filosofi bantahan terhadap penghapusan, perubahan atau pergantian seragam sekolah. 

Bayangkan jika kelak muncul narasi pelajar berpakaian preman karena belajar sudah tidak lagi menggunakan seragam sekolah, apa jadinya dunia pendidikan kita? 

Bayangkan pula jika narasi itu dimasukkan ke dalam percakapan sehari-hari, misalnya, "Sesaat setelah mendapat tantangan ajakan tawuran dari media sosial, sekelompok pelajar berpakaian preman tampak sedang bersiap-siap untuk menyambutnya" 

Percakapan itu sekilas lalu bisa dinilai sudah sesuai dan tidak mengganggu dunia pendidikan sebab narasi yang terbangun bersemat kata preman, sosok yang identik dengan tawuran. 

Oleh karena itu, dengan filosofi polisi berpakaian preman dalam kelirumologi, isu penghapusan, perubahan atau pergantian seragam sekolah seharusnya tidak diwujudkan, mengingat usia siswa-siswi atau pelajar masih sangat membutuhkan pengawasan atau pemantauan dari para pemangku pendidikan dan masyarakat umum, di samping oleh keluarga di rumah dan para guru di sekolah.

Terutama dalam menyikapi atau merespon saat mereka (pelajar) masih memakai seragam sekolahnya ketika berada di luar lingkungan sekolah baik di jam-jam belajar atau di luar jam belajar tetapi masih keluyuran di luar rumah. 

Intinya, narasi dalam kelirumologi jangan sampai terjadi dalam dunia pendidikan hanya karena urusan penghapusan, pengubahan atau pergantian seragam sekolah lantaran alasan mahalnya harga seragam, yang bisa diselesaikan dengan cara tidak memberikan kewajiban membeli seragam sekolah lewat koperasi sekolah, guru sekolah yang berbisnis atau yang terlibat dengan jual beli seragam sekolah yang mematok harga tak masuk akal. 

Akhir kata, mari kita mulai menarasikan polisi berpakaian bebas untuk polisi yang menyamar dalam tugas atau berdinas tanpa seragam kepolisian! Mulailah menghapus, mengubah atau mengganti narasi polisi berpakaian preman! Agar kelirumologi terhadap identifikasi cara berpakaian untuk status, jabatan atau profesi apapun tidak terus berrlanjut. Mari sama-sama hindari kelirumologi di dunia pendidikan terlebih untuk kelancaran proses belajar mengajar agar tujuan pendidikan tercapai tanpa kendala berarti. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun