Mohon tunggu...
Yulius Roma Patandean
Yulius Roma Patandean Mohon Tunggu... Guru - English Teacher (I am proud to be an educator)

Seorang Guru dan Penulis Buku dari kampung di perbatasan Kabupaten Tana Toraja-Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan. Menyukai informasi seputar olahraga, perjalanan, pertanian, kuliner, budaya dan teknologi.

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama

Dampak Bertani Bawang dan Palawija di Tengah Darurat Kerusakan Lingkungan

20 April 2024   00:37 Diperbarui: 26 April 2024   01:09 477
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ladang bawang yang terlihat dari pinggir jalan poros Toraja-Enrekang. Sumber: dok. pribadi

Daya tarik bertani tetap menjadi pekerjaan utama sebagian besar warga di daerah. Pertanian masih menjadi primadona mengingat ketersediaan lahan yang masih mumpuni. Tanaman yang potensial menghasilkan rupiah dalam jangka pendek kini mulai digemari. 

Tanaman kebutuhan bumbu dapur seperti bawang merah, bawang prei, daun seledri, tomat dan cabai banyak dikelola oleh warga. Demikian pula dengan kelompok palawija dan sayuran seperti jagung, kol, sawi, kangkung cabut, bayam, ubi jalar dan wortel. 

Di pasar lokal, harga bawang merah, bawang prei dan tomat cenderung meningkat pada musim hujan. Bawang merah bisa dijual petani pada kisaran harga 40.000-50.000. Demikian halnya dengan bawang prei yang dihargai 5.000 per barang. Tomat pun melonjak di kisaran harga 3 biji tomat senilai 5.000.

Kebun bawang di pinggir jalan trans Sulawesi poros Toraja-Enrekang di Anggeraja. Sumber: dok. pribadi. 
Kebun bawang di pinggir jalan trans Sulawesi poros Toraja-Enrekang di Anggeraja. Sumber: dok. pribadi. 

Pembukaan lahan pun dilakukan secara berkala melalui pembabatan pepohonan. Seperti diketahui bahwa tanaman bawang merah, bawang prei, sayuran dan palawija membutuhkan lahan yang banyak menerima sinar matahari langsung alias tanpa tanaman pelindung. 

Semakin lama lahan kebun bertambah luas dan tanaman penyangga air tanah makin menipis. Inilah yang nampak jelas oleh pemandangan mata ketika melintasi kawasan "surga" bawang di daerah Enrekang, khususnya di kecamatan Alla, Cakke, Baroko, Anggeraja, Baraka, Curio, Buntu Batu dan Masalle. Lahan serupa pun kini mulai bermunculan di daerah Tana Toraja, khususnya perkampungan yang berbatasan dengan kabupaten Enrekang. 

Daya pikat panen rupiah dari kebun-kebun ini membuat sejauh mata memandang, maka sejauh itu pula pandangan tertumpu pada kebun-kebun bawang dan palawija. Menanam rupiah hampir tak terkendali. Hingga lahan sempit di pekarangan pun berubah menjadi kebun bawang dan kol.

Di balik pembukaan lahan ini, kini mulai mengintip kerusakan lingkungan. Memang dampaknya tidak langsung terasa. Butuh waktu bertahun-tahun hingga dampaknya terasa. Mirip ketika Uni Emirat Arab dan Oman tiba-tiba dilanda banjir bandang. Inilah yang mulai terasa saat ini.

Kerusakan pertama adalah berkurangnya penyangga air tanah. Topografi wilayah Enrekang yang menjadi pusat pertanian bawang dan sayur nasional di Indonesia Timur berupa perbukitan dan pegunungan. 

Pada musim hujan bulan April tahun 2024, banyak petani bawang merah yang harus menelan kerugian hingga ratusan juta rupiah karena bawang habis tersapu air. Bawang merah yang telah ditumpuk untuk persiapan jual di tenda-tenda, tiba-tiba dibawa oleh sapuan air dari arah perbukitan. 

Air hujan sudah tak mampu tertahan dalam tanah sehingga ketika hujan lebat tiba, langsung membuat parit kecil memotong sana-sini. Selain hantaman air dari bukit, luapan air sungai Mataallo yang mana menjasi sumber utama air untuk lahan pertanian bawang turut menghancurkan sejumlah kebun bawang merah yang ada di sekitar bantaran sungai. 

Kerusakan kedua adalah polusi air, tanah dan udara. Pemakaian pestisida dan herbisida secara masif dan terus-menerus membuat kualitas air tanah memburuk karena hampir semua permukaan tanah telah mendapat siraman pestisida dan herbisida. 

Pola penyemprotan tradisional yang masih dipertahankan rentan merusak kualitas udara di sekitarnya. Semburan air bercampur racun bisa dihembus angin dan terhirup oleh warga.

Demikian halnya dengan kualitas udara. Bau menyengat efek pestisida sering tercium di sepanjang jalan ketika melewati kebun bawang dan kol. Tanah pun menjadi labil oleh karena siraman herbisida terus-menerus. 

Kualitas air untuk konsumsi rumah tangga ikut terimbas. Sumur-sumur warga sudah pasti terkontaminai pestisida dan herbisida. Memang sudah tersedia air kemasan dalam galon yang menjadi pengganti sumur. 

Dampak besar kerusakan lingkungan adalah mulai labilnya tanah yang ada di sekitar lahan pertanian, khususnya yang berupa tanah miring dan tebing. Ancaman tanah longsor sudah ada di depan mata. Jejak-jejak longsor kecil sudah mulai terjadi. Jika tak diantisipasi sejak dini, ancaman banjir bandang dan longsor bisa terjadi dengan lebih besar lagi, khususnya di sekitar wilayah Kabupaten Enrekang. 

Pergerakan tanah pernah membuat jalan amblas di poros kota Enrekang menuju Sidrap tahun lalu. Dampak penyemprotan lahan menggunakan herbisida membuat tanah rapih dan mudah longsor. Ini pula yang membuat jalan di sekitar kampung Kulinjang sudah tidak tenteram lagi hingga hari ini. 

Sehingga tidak mengherankan pula jika Tana Toraja menjadi daerah dengan perolehan dampak terburuk terbesar dari pembukaan lahan tanam palawija dan bawang pada tahun 2024.

Menanam komoditi yang berpotensi menghasilkan rupiah sangat menjanjikan. Akan tetapi perlu kewaspadaan terhadap kelestarian lingkungan. Perlu ada keseimbangan antara menanam rupiah dengan ketahanan lingkungan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun