Mohon tunggu...
Novia Respati
Novia Respati Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wirausaha

Senang menulis dan memasak 😊

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Etiskah Pekerja Bidang Jasa Membocorkan Rahasia Dapurnya pada Customer?

27 April 2024   07:16 Diperbarui: 27 April 2024   07:18 74
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar : https://islam.nu.or.id/khutbah

Sebenarnya cerita ini terjadi saat bulan ramadhan kemarin. Setelah sempat didera kebimbangan, akhirnya saya putuskan untuk menulisnya dengan tujuan sebagai pengingat. Agar kita dapat saling mengingat akan adanya suatu batasan dari setiap apa yang terlontar dari mulut kita.

Jadi begini ceritanya. Pada salah satu hari di bulan ramadhan kemarin, seorang dari anggota keluarga besar kami ada yang dirawat di RS. Maka saya bertugas menemani kakek, nenek dan ibu saya untuk pergi menjenguk beliau. Kami pun berangkat menumpang taksi online (saya tidak akan sebutkan mereknya). Begitu juga saat pulang dari RS, kami kembali menumpang taksi online.

Namun, supir yang mengantar kami pulang terlihat pendiam. Dan tidak seramah supir pertama yang mengantar kami sebelumnya. Melihat kondisi jalanan yang macet, rasanya sangat kaku dan kurang nyaman jika tidak ada perbincangan/ interaksi sama sekali antara supir dan penumpang.

Apalagi, yang duduk di depan samping supir itu kakek saya. Sosok kakek 83 tahun yang sedari mudanya memang sangat senang mengobrol dengan siapa saja yang ditemuinya. Maka akhirnya, eyang kakung pun membuka perbincangan dengan pria di sampingnya yang kira-kira berusia 40 tahunan itu.

"Abang tinggalnya di mana?"
Kami yang duduk di tengah hanya ikut menyimak sambil melihat ke jalan dan tidak bersuara. Kami pun mendengar si supir mulai merespon pertanyaan eyang kakung dan beberapa kali juga sempat bertanya balik.

Dan pada saat eyang kakung bertanya, "Putranya berapa?" yang membuat kami takjub, jawabannya jadi ngalor ngidul ke mana-mana. Tunggu, salah ngga sih eyang kakung nanya gitu? Harusnya sih dimaklumi saja, namanya juga sudah sepuh.

Ditanya seperti itu, si supir menjawab bahwa dirinya belum memiliki anak padahal sudah hampir 12 tahun menikah. Tentu saja eyang kakung bahkan eyang uti yang duduk di sebelah saya ikut bersuara mengatakan semoga secepatnya diberi momongan.

Kalau orang yang paham batasan, pasti dia akan mengucapkan terima kasih lalu menutup topik pembicaraan. Atau mengganti topik yang lain. Toh kami sudah tidak bertanya macam-macam lagi. Tapi apa yang dia lakukan?

Si supir ini justru membocorkan rahasia dapur rumah tangganya. Yang terdengar mengenaskan, dia menyalahkan istrinya bahkan mengatakan pada kami tentang suatu penyakit yang diderita sang istri, sehingga mereka belum juga memiliki keturunan.

Jika sekedar penyakit yang lumrah didengar banyak orang, mungkin kami masih bisa maklum. Tapi penyakit "ini" rasanya tidak etis jika diceritakan kepada orang lain yang bukan saudaranya.

Sebagai perempuan, hati saya terenyuh mendengarnya. Bukan terenyuh karena penyakit tersebut, tapi karena kasihan pada wanita yang punya suami mulutnya seperti ini, ibarat tidak punya rem yang bisa mengontrol ucapannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun