Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

Ada Apa dengan KKN? Review Ronggeng Kematian

29 Maret 2024   00:34 Diperbarui: 29 Maret 2024   04:26 237
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Adegan Ronggeng Kematian-Foto: IDN Times/MD Entertainment

Entah kebetulan atau latah, keberhasilan KKN Desa Penari di layar bioskop diikuti oleh sejumlah sineas lain untuk membuat film yang sebangun. Sekalipun boleh dibilang serupa tapi tak sama. Itu kesan saya ketika menyaksikan Ronggeng Kematian yang baru rilis pada 28 Maret ini.

Polanya sama ada sekelompok mahasiswa kota datang ke sebuah desa dan berbuat aib, hingga berurusan dengan alam gaib.  Hal ini menimbulkan pertanyaan apakah iya, mahasiswa yang KKN ke sebuah desa itu tidak mempelajari dulu kearifan lokal setempat?

Tanpa berurusan dengan alam gaib pun, mereka  bukan saja mempertaruhkan reputasi diri mereka, tetapi juga kampus mereka jika melanggar asusila di kampung orang. 

Jika KKN Desa Penari diangkat dari cerita penulis yang menamakan dirinya simple man bertajuk sama, maka Ronggeng Kematian diangkat dari novel Ronggeng Pembalasan Sulastri karya Arumi E dan Sukhdev Singh di Wattpad.

Film ini debutan dari aktor  Verdi Solaiman sebagai sutradara  ini mengambil setting di Desa Mangunsari. Pada 2015 empat mahasiswa Fakultas Teknik  dari kota bernama Adit (Revaldo), Ricky (Krisjiana Baharudin),  Aksan (Allan Dastan), dan Yudi (Dito Darmawan) membuat proyek kincir angin untuk mengatasi masalah kekeringan di des aitu.

Proyek itu berhasil hingga menjelang hari terakhir kepulangan mereka ke Jakarta, sesuai dengan tradisi desa, maka empat mahasiswa itu mendapatkan hiburan dari Sulastri (Cindy Nirmala), seorang penari ronggeng di rumah persinggahan (guest house).

Di sini saja sudah ada pertanyaan, bagaimana kepala desa bisa memberi hiburan secara eksklusif dengan mengirim penari ronggeng,perempuan masih remaja ke rumah tempat mereka menginap?  Mengapa  bukannya di  panggung balai desa? Mungkin saja kepala desanya percaya bahwa mahasiswa kota terpelajar tidak akan berbuat macam-macam.

Pertanyaan kedua, apa iya  waktu KKN di sebuah desa para mahasiswa itu leluasa membawa botol dan kaleng bir hingga mabuk? Mungkin maksud pembuat cerita atau sineas jadi alasannya untuk membuat hilangnya dan kematian ronggengnya menjadi masuk akal.  Jadi salah satu di antara mereka adalah pelakunya?

Para mahasiswa itu kembali ke Jakarta dan percaya desa menganggap Sulastri dan pacarnya Imam hilang, diduga kabur untuk kawin lari.

Tujuh tahun kemudian Larasati (Claresta Taufan) baru lulus SMK secara tak sengaja menemukan selendang milik Sulastri dan membuat dia kesurupan dan mahir menari ronggeng. 

Menur (Nungki Kusumastuti) kemudian terpukau dan menjadikannya jadi penari ronggeng.  Kebetulan Pak Marto (Agus Wibowo), lurah desa itu ingin mengundang kembali keempat mahasiswa itu  untuk membeirkan penghargaan.  Kincir angin yang dibangun mendatangkan kemakmuran.

Foto: Irvan Sjafari
Foto: Irvan Sjafari

Empat mahasiswa itu kembali. Itu juga jadi pertanyaan, mengapa mereka mau kembali ke tempat yang ada kejadian mengubah hidup mereka? Yang jadi pertanyaan juga mengapa orang desa tidak lapor polisi menyelidiki hilangnya warga mereka?

Kalau ada yang tidak mau bagaimana? Lalu mengapa mereka tidak membawa orang lain untuk berjaga?  Supir mislanya atau teman yang lain. Memang diceritakan salah seorang di antara mereka sukses, yang lain tidak jadi manut pada yang sukses.   

Masa sih? Tujuh Tahun itu bisa membuat orang berubah dan tidak akan sama, jaringan setiap orang akan berubah.

Okelah, ini mungkin maksudnya biar arwah Sulastri bisa mendapatkan keadilan dan keempatnya harus ada.  Jadilah Ronggeng Kematian menjadi cerita horor detektif yang berbalut budaya dan memang menjadikannya berbeda dengan KKN Desa Penari.  Jadi biar hantu Sulastri mengungkapkannya.

Bahkan akhir cerita pun mengundang pertanyaan dalam diri saya, kok begini ya?  Masih masuk akal KKN Desa Penari di mana orang yang bersalah mendapatkan hukuman atas pelanggaran etika mereka pada kearifan lokal.  Namun bagaimana pun juga cara Verdi memberikan ending cukup tidak bisa ditebak.

Cara bertutur Verdi cukup menarik lambat hingga bagi yang tidak biasa akan terasa membosankan, namun memang cukup  menarik untuk menggiring penonton menuju puncak di akhir cerita.

Ada tokoh lain Hadi (Chicco Kurniawan) pacar Larasati, seorang pegawai kelurahan, putra Marto dan Wongso (Muhammad Affandi Suryo), seorang warga yang punya ketebelakangan mental yang tadinya saya kira tempelan saja, namun di tengah cerita mempunyai peran yang menentukan.

Bagaimana dengan jump scare atau sosok hantu Sulastri? Lumayan sekalipun masih biasa dalam film horor Indonesia apalagi negara lain.  Dari Departemen kasting rata-rata lumayan, Revaldo mungkin lebih menonjol.  Claresta Taufan, yang di luar film saya tahu adalah Si Karateka Cantik cukup menarik perempuan desa

Catatan lain baik KKN Desa Penari maupun Ronggeng Kematian, lemah pada  cerita bagaimana proses KKN, bagaimana persiapan mereka dari kampus? Lalu kalau ada masalah dosen atau pembimbing mereka tidak turun tangan.  Seperti yang saya tulis di atas apa iya mahasiswa mau KKN tidak tahu soal kearifan lokal?

Irvan Sjafari

Tugas keenam Film yang kalian tonton terakhir di bioskop/festival

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun