Mohon tunggu...
Ita Siregar
Ita Siregar Mohon Tunggu... Administrasi - Pengarang. Pemetik cerita. Tinggal di Balige.

Merindu langit dan bumi yang baru.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Teologi Tidur: Bukan Menyongsong Ketidakpastian

25 April 2024   15:49 Diperbarui: 25 April 2024   15:51 54
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Lyfe. Sumber ilustrasi: FREEPIK/8photo


Teks Julius C. Adiatma

Saya senang tidur. Bagi saya, tidur adalah tempat pelarian sementara dari masalah. Saat sedih, sakit, marah, bosan. Ketika bangun, saya merasa bahagia. Setidaknya beberapa detik sebelum kesadaran kembali menguasai. Saya tak pernah bosan tidur. Meski sepertiga waktu saya dalam sehari, habis karena tidur.

Melongok Alkitab, tidak mudah menemukan satu tarikan makna mengenai tidur. Memang tidak mungkin. Karena jelas, Alkitab ditulis bukan untuk menjelaskan aktivitas-aktivitas manusia.

Bagaimana pun, banyak catatan mengenai kegiatan tidur dalam Alkitab yang tidak saling terkait. Bahkan maknanya kontradiktif.  Tetap, saya sulit menemukan bahan rujukan teologis yang memuaskan menyoal tidur.
Tersebab inilah saya akan menarik kisah dan pemaknaan mengenai tidur secara pribadi. Perlu saya sampaikan bahwa rujukan yang tercantum di sini semata-mata sumber inspirasi, sehingga ketika Anda membacanya, mungkin kesimpulan yang didapat berbeda dari saya.

Pertama, konsep tidur dalam peristiwa penciptaan. Rupanya, tidur terekam pada peristiwa penciptaan Hawa. "TUHAN Allah membuat manusia itu tidur nyenyak" (Kejadian 2:21). Tidak berhenti di situ. Pada beberapa peristiwa setelah itu, Allah menunjukkan "karya-Nya" ketika manusia tidur.

Yakub bergulat dengan Tuhan dalam tidur (Kejadian 32:24). Allah menghukum bangsa Mesir ketika mereka tidur tengah malam (Keluaran 12:29-30). Samuel dipanggil Tuhan saat ia sedang tidur (1 Samuel 3:3-5).

Dari sini, saya mengajukan kesimpulan sementara bahwa dalam tidur manusia, Tuhan berkarya dan membentuk manusia. Atau bisa juga kita bayangkan, tidur sebagai salah satu cara manusia yang imanen, "berinteraksi" dengan Tuhan yang transenden. Tuhan, yang secara ontologis "tidak eksis", tidak dapat "dijumpai" oleh manusia dalam kenyataan material. Maka Ia hanya mungkin "dijumpai" dalam dimensi nonmaterial, yang diakses manusia dalam tidurnya.

Kembali ke peristiwa penciptaan

Jika kita memandang tidur sebagai bagian dari istirahat, kita akan menemukan "Allah memberkati hari ketujuh dan menguduskannya, karena pada hari itu Ia berhenti" (Kejadian 2:3). Angka 7 adalah sakral bagi orang Yahudi. Kemungkinan angka itu berakar dari tradisi-tradisi sekitar Kitab Kejadian ditulis, yaitu abad 6 SM. Dalam beberapa tradisi Kristen pun, angka 7 dianggap simbol kesempurnaan atau kepenuhan.  

Maka, istirahat menjadi sesuatu yang sentral sebab ditempatkan pada hari ketujuh. Karya penciptaan Tuhan digenapi dengan berhenti bekerja, beristirahat pada hari ketujuh (meski kita tahu Ia tidak membutuhkannya). Istirahat menjadi syarat pekerjaan menjadi lengkap. Bahkan Allah menguduskan hari itu sementara Ia tidak menguduskan hari-hari sebelumnya waktu mencipta, bahkan ketika menciptakan manusia.

Kedua, saat kejatuhan manusia. Sejak berdosa, manusia harus "dengan bersusah payah mencari rezeki dari tanah seumur hidup" (Kejadian 3:17). Hingga saat ini kita melihat kondisi manusia harus bekerja keras sampai-sampai mengurangi waktu istirahat (baca: tidur). Mereka yang bekerja lembur, shift malam hari, atau pekerjaan sampingan untuk menutup biaya hidup.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun