Mohon tunggu...
Yogi Setiawan
Yogi Setiawan Mohon Tunggu... Freelancer - Aku adalah

Pemuda yang penuh semangat, senang berbagi dan pantang menyerah. Mulai menulis karena sadar akan ingatan yang terbatas. Terus menulis karena sadar saya bukan anak raja, peterpan ataupun dewa 19.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Cinta Indonesia dan Pelajaran Bermedsos Ria Secara Positif

14 September 2016   14:02 Diperbarui: 14 September 2016   21:24 85
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cinta Indonesia

Saya hidup di lingkungan yang beraneka ragam suku dan agama. Jawa, Sunda, Betawi, Batak, Madura, ada di lingkungan RT saya yang kurang lebih ada 50 kepala keluarga. Begitu juga dengan agama, ada Islam, Protestan, Katolik, dan Hindu, untuk Budha dan Konghucu tidak ada di RT saya. Semua saling rukun tanpa ada perselisihan.

Ketika ada perayaan hari besar umat Islam seperti Idul Fitri, warga yang beragama Protestan, Katolik dan Hindu datang silaturahim ke rumah-rumah seperti yang dilakukan umat Islam. Kemudian ketika ada hari Natal atau Waisak, perwakilan warga muslim datang mengunjungi ke warga yang merayakan Natal dan Waisak. Ada warga yang tidak sependapat, bahwa umat Islam tidak boleh mengunjungi warga yang merayakan Natal dan Waisak apalagi mengucapkan selamat hari Natal dan Waisak. Tetapi mereka tidak melarang orang untuk mengunjungi dan mengucapkan selamat, karena masing-masing pendapat mempunyai sandarannya masing-masing dan saling menghormati.

Kerukunan warga yang beragam suku dan agamanya ini dapat terlihat jelas ketika perayaan kemerdekaan Indonesia. Malam tanggal 16 Agustus, kebiasaan warga di lingkungan rumah adalah mengadakan selametan. Berdoa karena atas berkat dan rahmat-Nya Indonesia telah merdeka. Doa yang dipanjatkan memang campur antara bahasa Arab dan Indonesia yang biasa dilakukan umat Islam karena 90% warga beragama Islam dan tak ada protes. Acara ini juga menjadi ajang silaturahim bagi warga. Anak-anak bermain dengan riangnya, Ibu-ibu sibuk menyiapkan hidangan, bapak-bapak saling berbincang dan para remaja membantu segala kebutuhan acara.

Esoknya saat acara lomba, semua warga juga ikut dalam kegiatan. Tidak ada yang dibedakan dalam lomba. Anak-anak merasa sangat senang. Walaupun berbeda suku dan agama, keceriaan di dalam diri mereka menggambarkan, kami rakyat Indonesia dan kami siap berjuang untuk memenangkan lomba (makan kerupuk, lari bendera, dll) demi Indonesia.

Era Media Sosial

Lalu bagaimana hal diatas dapat diterapkan di era media sosial saat ini. Kita ketahui era media sosial membuka batas-batas geografis. Kita bisa berinteraksi dengan orang yang berada di beda kota, beda pulau bahkan beda negara. Hal-hal yang diperbincangkan pun bermacam ragamnya. Begitu juga dengan hal-hal yang menyangkut tentang suku dan agama. Ketika menyangkut tentang kedua hal itu, perbincangan menjadi sensitif dan rentan akan kericuhan dalam sosial media.

Belajar dari kerukunan beragama di lingkungan rumah saya, kunci kerukunan adalah saling menghormati perbedaan. Sebeda-bedanya orang dalam suku dan agama, kita mempunyai persamaan, sama-sama rakyat Indonesia. Persatuan Indonesia yang tercantum dalam Pancasila menjadi pemersatu dalam keragaman. Suku dan agama telah terikat dalam hati masing-masing orang, namun Indonesia telah mendarah daging. Semuanya menyatu, saling melengkapi.

Pelajaran yang Bisa Mempengaruhi Cara Bermedia Sosial

Sekolah mempunyai peran dalam pendidikan penggunaan media sosial. Sekolah bukan hanya tempat mengajarkan dan menghafalkan berbagai teori-teori dalam buku cetak, tetapi juga berperan dalam kehidupan bermasyarakat. Pelajaran pelajaran di sekolah seperti  Agama, Kewarganegaraan, Bahasa Indonesia, Informasi dan Teknologi merupakan pelajaran yang memiliki peran penting dalam era media sosial.

Pendidikan Agama menjadi pondasi dalam bermedia sosial. Agama mengajarkan untuk hidup selaras, tidak berlebih-lebihan dan saling berjamaah dalam menguatkan keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Pelajaran agama yang mengakar (radiks) itu mesti radikal, karena agama merupakan pondasi. Namun yang tidak boleh diajarkan adalah radikalisme, sikap ekstrem yang berlebih-lebihan sehingga muncul cara-cara kekerasan dalam beragama. Ketika pendidikan agama telah terinternalisasi dalam diri setiap siswa maka sikap individualisme, hedonisme dan konsumtif dapat diminimalisir. Dalam bermedia sosial, agama merupakan tameng untuk menyikapi konten-konten yang tidak baik seperti pornografi dan bullying.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun