Mohon tunggu...
Zainab Zilullah
Zainab Zilullah Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Manifestation of God I'm student of Master Degree-Islamic Philosophy Blog: http://zainabzilullah.wordpress.com/

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Gusdurian Gelar Dialog “Titik Temu Sunni-Syi’ah”

11 Februari 2014   07:08 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:57 99
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13920776631066265849

Seruan Ukhuwah dari Taman Amir Hamzah

Jakarta, LiputanIslam.com ---Di tengah mulai memanasnya atmosfer gesekan antarmazhab (baca: Sunni-Syiah) di Indonesia, yang dihembuskan oleh kelompok tertentu yang tidak bertanggung jawab,  Forum Jum’at (an) Jaringan GUSDURian menggelar dialog “Titik Temu Sunni-Syi’ah”. Acara itu diselenggarakan pada Jum’at malam (7/2) di kantor The Wahid Institute Jakarta, Jalan Taman Amir Hamzah No. 8. Dialog dimaksudkan untuk menurunkan potensi gesekan termaksud atau menjembatani kesalahpahaman demi terciptanya kedamaian dan persaudaraan umat.  Ini sejalan dengan “9 Nilai Dasar Gus Dur”, yakni ketauhidan, kemanusiaan, keadilan, kesetaraan, pembebasan, kesederhanaan, persaudaraan, keksatriaan, dan kearifan lokal.

Dialog seperti itu ibarat oase di padang pasir, begitu memuaskan dahaga umat Islam yang haus persatuan. Ini tercermin dari antusiasme peserta yang memadati lokasi sejak maghrib. Acara tersebut dimulai pada jam 19.00 WIB, dihadiri sekitar 200 peserta dari berbagai kalangan. Kegiatan berlangsung lancar, diselingi gelak tawa peserta dan pembicara, seakan mencairkan suasana kehidupan di Tanah Air yang agak membeku --- akhir-akhir ini --- akibat ulah para propagandis anti persatuan (intolerance).

Acara Forum Jum’at (an) Jaringan GUSDURian kali ini diakui Annisa Wahid, puteri Gus Dur, sungguh berbeda. “Biasanya kegiatan kami dihadiri puluhan orang yang mayoritas generasi muda. Tapi malam ini benar-benar di luar dugaan;    ternyata banyak yang tertarik dengan temanya (Titik Temu Sunni-Syi’ah). Mungkin masyarakat sulit menemukan perbincangan seperti ini di tempat lain,” demikian Annisa dalam kata sambutannya.

Acara dibuka dengan  musik tradisional (dari) Iran yang dibawakan oleh Zarb Ava. Grup musik ini membawakan lagu-lagu sufistik yang menyentuh hati. Hadirin menikmati keindahan alunan dan iramanya dengan takjub, yang sesekali diiringi tepuk tangan dan ucapan:Subhanallah! ”.

Pada kesempatan itu Annisa, selaku Koordinator Nasional Jaringan GUSDURian,  mengharapkan umat bisa menyikapi heterogenitas. “Persoalan esensial yang dihadapi rakyat Indonesia, terutama Muslim, adalah ketidaksiapan menghadapi perbedaan,” ungkapnya.

Dalam menyikapi hal ini, Gus Dur semasa hidupnya senantiasa menyerukan agar masyarakat menjalin dialog dan silaturahim. “Gus Dur menekankan agar yang sama jangan dibedakan, yang beda jangan disamakan. Inilah fondasi dialog antara umat yang mengantarkan kepada toleransi,” ujar Annisa dengan bersemangat.

Ia mengajak para pecinta ayahnya untuk memerhatikan 9 Nilai Dasar Gus Dur. “Silahkan mengakses www.gusdurian.net untuk mempelajari Nilai-nilai Dasar yang menjadi asas pandangan Gusdur yang dirumuskan oleh pelanjut pemikiran beliau,” ungkap Annisa yang kini menjabat Ketua  The Wahid Institute.

Dialog pada malam itu juga dihadiri Mr. Ibrahimian, Atase Kebudayaan Iran pada Kedubes Republik Islam Iran untuk Indonesia. Ia menyatakan bahwa setiap awal  Februari, rakyat Iran bersuka cita merayakan kemenangan Revolusi Islam (1979). Imam Khomeini adalah tokoh revolusi yang memiliki pengaruh besar terhadap rakyat dan umat Islam, terutama generasi muda. Gus Dur juga memiliki pemikiran besar dan banyak pengikut.

“Saya mendapat penjelasan dari Mr. Jalal  (Jalaluddin Rakhmat) dan Mr. Zuhairi (Zuhairi Misrawi) bahwa peserta yang berkumpul di sini adalah GUSDURian. Nah, kalian pasti memiliki alasan mengapa menggali pemikiran Gus Dur. Menurut kami, beliau adalah tokoh besar yang mendunia,” ujarnya.

Adapun hal penting yang ditekankan Ibrahimian adalah problematika yang dihadapi umat Islam. “Musuh-musuh Islam sangat gencar memporak-porandakan umat, terutama di Indonesia sebagai Muslim terbesar di dunia, dengan bantuan kaum Salafi-Takfiri,” ungkapnya lantang.

Ibrahimian menegaskan bahwa sasaran Salafi-Takfiri kali ini adalah Syi’ah dengan menggulirkan tuduhan “sesat”. Setelah itu, mereka akan mencari sasaran baru untuk dikafirkan. Tentu saja hal tersebut akan mengancam kedamaian bahkan kesejahteraan masyarakat. Maka, kita harus menjunjung persatuan dan kesatuan yang diajarkan dalam al-Qur’an bahwa manusia harus hidup berdampingan dengan balutan kasih-sayang.

NU adalah Syi’ah Minus Imamah

Pada acara di malam yang cerah itu bertindak sebagai pembicara utama adalah  dua tokoh yang representatif.  Dari kalangan Syi’ah diwakili oleh KH Dr. Jalaluddin Rakhmat (Ketua Dewan Syura IJABI - Ikatan Jama’ah Ahlulbait Indonesia), sedangkan dari Sunni adalah KH Masdar Mas’udi, yang juga adalah pimpinan pada Dewan Pembina NU (Nahdlatul Ulama).

Sementara itu, Zuhairi Misrawi --- intelektual muda NU --- adalah sebagai moderator.  Ia membuka dialog dengan mengutip pernyataan Gus Dur bahwa NU adalah Syiah minus Imamah.

Lebih lanjut, Zuhairi mengungkapkan pernyataan resmi Syekh Mahmud Saltut, mufti Universitas Al-Azhar Mesir, bahwa Syi’ah merupakan salah satu mazhab dalam Islam sebagaimana Sunni.

Ia menegaskan titik temu keduanya harus terwujud untuk melawan propaganda kaum Salafi-Takfiri (Wahabi).

“Sunni dan Syi’ah terbukti memiliki titik temu dengan terselenggaranya dialog ini. Semoga 2000 persen kita bersatu demi melawan  takfiri, serta demi kemajuan bangsa,” ucap jebolan Universitas Al-Azhar (Mesir) ini bersemangat.

Jalaluddin Rakhmat (Kang Jalal) mengawali pembicaraan dengan membaca Iftitah. “Saya taqiyah berbahasa Arab agar terlihat seperti Kiai. Menurut Jawad Mughniyah (ulama Syiah), taqiyah dilakukan untuk mengamankan diri dan komunitas dari ketakutan, serta merebut kasih-sayang sesama Muslim untuk memelihara persatuan. Ini sejalan dengan karya saya, Dahulukan Akhlak di Atas Fiqh, sehingga tidak ada perpecahan. Nah, taqiyah yang saya lakukan karena alasan kedua,” ujarnya berseloroh yang disambut gelak tawa dukungan dari hadirin.

Ia mengaku pernah diajak Gus Dur berkeliling daerah untuk bertemu dengan para kader/jamaah NU (Nahdliyin). “Saya sangat dekat dengan Gus Dur, makanya saya bersedia menjadi ABG (Anak Buah Gus Dur),” katanya sambil tertawa.

Kang Jalal kemudian mengutip syair Imam Syafi’i: “Jika mencintai keluarga Nabi (Ahlul Bait) disebut Rafidhi (Syiah), maka saksikanlah wahai jin dan manusia bahwa aku adalah seorang Rafidhi.”

Menurutnya, titik temu Sunni dan Syiah sudah terjadi karena sama-sama dikafirkan segelintir orang yang mengaku (mengklaim diri) Ahlussunnah. “Setiap ada persamaan Sunni-Syiah, kaum Wahabi menuduh bahwa Syi’ah bertentangan dengan Sunni yang disertai pemutarbalikkan fakta,” ungkapnya kesal.

Ia teringat dengan pesan salah satu teman  di Amerika pada kartu ucapan: Jangan bangun tembok, bangunlah jembatan!. “Jembatan antara kita bisa terwujud karena kita memiliki kecintaan kepada Ahlul Bait,” ucap Kang Jalal lagi.

Menurutnya, titik pisah Sunni-Syi’ah hanya satu, yaitu pandangan mengenai wasiat (yakni wasiat keimamahan/kepemimpinan sepeninggal Rasulullah Muhammad SAW). Namun, persoalan ini bisa dibicarakan dengan pikiran jernih.

“Ada kesalahan mengafirmasi pernyataan seorang filsuf eksistensialis Barat bahwa biarlah itu menjadi pilihanmu, tapi kamu harus bertanggung jawab dengan pilihan tersebut. Nah, dalam hal ini, kami merujuk pada hadist yang diriwayatkan Siti Aisyah bahwa Imam Ali adalah penerima wasiat pada saat ia tertidur di dada Nabi,” tegas Kang Jalal.

Pemaparan Kang Jalal hampir senada dengan Kiai Masdar, yang menyindir salah satu “aliran” yang mengaku Ahlussunnah, tetapi tidak sesuai dengan ajarannya. Menurut Masdar, umat Islam harus belajar dari sejarah, dan bahwa perselisihan yang berlangsung selama berabad-abad harus dihentikan.

“Kita harus berkaca pada sejarah, seperti terjadinya konflik berdarah antarumat Kristen. Kita bisa meminimalisir konflik intern umat Islam yang diakibatkan hal sepele. Masih banyak urusan umat yang lebih penting untuk dicarikan solusinya,” tandasnya.

Selanjutnya, ia mengutarakan bahwa keimanan Muslim itu paranoid terhadap orang lain. “Kita takut melihat orang lain yang berbeda. Padahal, dalam al-Qur’an, 70 persen membicarakan tentang  the others. Lagipula, terdapat hadits Nabi tentang  firqah dimana Yahudi terbagi menjadi 71, Nasrani menjadi 72, sedangkan Islam 73 firqah. Jadi tafarruq itu  inherent,” ujar Masdar dengan serius.

Masdar mengakui bahwa titik temu Sunni-Syi’ah adalah pada La ilaha ilallah, Muhammad ar-Rasulullah. Namun, ia meminta Syi’ah menahan diri untuk tidak melakukan self-definition,serta kesediaan untuk tidak menggunakan diksi yang menohok agar tidak tercipta konflik.

“Ketika keyakinan menjadi wacana yang dipublikasikan, pasti memicu konflik. Syi’ah seharusnya belajar dari NU yang tasammuh dan tawazun. Ini merupakan kedewasaan dalam berkeyakinan / berideologi karena terkait dengan wisdom (hikmah), bukan benar atau salah,” kata Masdar.

Kemudian, ia berpendapat bahwa Sunni dan Syi’ah lebih baik berkawan, bukan melebur menjadi satu. Masdar mengungkapkan bahwa keduanya memiliki persamaan  tradisi, seperti tahlilan, maulid, ziarah kubur, shalawatan, tawassul, dan lainnya.

Bagi Masdar, perbedaan tafsir dan aturan fikih adalah lazim bagi kalangan NU. “Itu merupakan bagian dari kekayaan khazanah Islam yang diwarisi. Tugas kita adalah menjaga dan mengembangkan melalui dialog yang merujuk pada Gus Dur sebagai teladanpar excellence,” ungkapnya lantang.

Masdar mengafirmasi pernyataan Gus Dur bahwa NU adalah Syi’ah minus Imamah. Namun, Jalal kurang setuju dengan kata “minus”. “Kata  ‘minus’  itu tidak enak didengar. Saya lebih setuju kalau menggunakan kata  ‘plus’. Makanya saya lebih suka bilang bahwa  Syiah adalah Sunni  plus Imamah,” katanya seraya tertawa.

Pada akhir acara, panitia membagikan 100 buku secara gratis (berjudul “Titik Temu Sunni-Syi’ah”) dan sejumlah al-Qur’an terbitan Iran. Ini merupakan salah satu wujud konkret persatuan antarmazhab, dan juga untuk menepis propaganda jahat bahwa al-Qur’an yang dimiliki kaum Syi’ah berbeda dengan saudara mereka Ahlusunnah. Mari wujudkan persatuan dan persaudaraan umat! (Wa Ode Zainab Zilullah T).

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun