Nama “Islam Nusantara” memang belum lama dideklarasikan oleh Muktamar NU. Tetapi kenyataan Islam Nusantara telah hidup dan berjalan lama sejak masuknya Islam ke bumi Pertiwi yakni masa kerajaan Samudra Pasai Aceh Darussalam. Sambung menyambung dengan kerajaan Demak dan selanjutnya dengan kerajaan-kerajaan Islam Nusantara lainnya. Diasuh oleh para arif bijak sufi, wali, dan ulama.
Pada kurun abad-20 bermunculan para cendekiawan Muslim yang berpikiran maju; bersamaan dengan pasang naik nasionalisme menentang kolonialisme. Mereka menjadi pelopor-pelopor pembaharuan; di antaranya:
Bung Karno, Pro-Pluralisme dan Anti-Taqlidisme
Soekarno bukan saja seorang pemimpin bangsa yang nasionalis religius, tetapi juga seorang ulama besar yang kaya dengan idea-idea pembaharuan; relevan dengan khidupan individu dan kehidupan berbangsa. Berasal dari kalangan Islam abangan sebagai latar belakang keluarga, maka Islam yang dianut Soekarno merupakan Islam akulturatif dengan kultur lokal (Jawa). Seiring dengan waktu, pemahaman Soekarno terhadap Islam secara lebih mendalam pun tumbuh kembang tatkala Soekarno menginjak usia remaja dan tinggal di kediaman H.O.S Tjokroaminoto, tokoh Sarekat Islam (SI), di Surabaya. Melalui berbagai diskusi dan bacaan, Soekarno mulai mengenal Islam secara intensif. Kesadaran diri sebagai seorang Muslim datang beriringan dengan kesadaran anti kolonialisme dalam diri Soekarno .
Soekarno pun mengakui eksistensi ajaran teologis dari agama selain Islam yang hidup dalam masyarakat nusantara sejak lama. Soekarno juga telah mengakui adanya kemerdekaan beragama sebagai bagian dari kemerdekaan individu. Soekarno telah menghargai pluralisme beragama sejak ia muda.
Salah satu pandangannya adalah mengenai era kekhalifahan yang banyak diklaim kalangan Islamis sebagai masa ‘keemasan’ Islam:
“Islam harus berani mengejar jaman, bukan seratus tahun, tetapi seribu tahun Islam ketinggalan jaman. Kalau Islam tidak cukup kemampuan buat mengejar seribu tahun itu, niscaya ia akan tetap hina dan mesum. Bukan kembali pada Islam glory yang dulu, bukan kembali pada ‘zaman chalifah’, tetapi lari ke muka, lari mengejar jaman. Itulah satu-satunya jalan buat menjadi gilang gemilang kembali. Kenapa toch kita selamanya dapat ajaran, bahwa kita harus mengkopi ‘zaman chalifah’ yang dulu-dulu? Sekarang toch tahun 1936 dan bukan tahun 700 atau 800 atau 900?
Soekarno secara tegas menolak pandangan sebagian kalangan Islam yang memandang ‘kembali ke era khalifah’ sebagai tolok ukur kemajuan Islam. Ia juga menolak interpretasi hukum syariat secara kaku karena hal itu akan menyebabkan umat Islam menentang modernitas.
Soekarno memang seorang Muslim yang modernis dan rasionalis. Ia secara tegas menganjurkan umat Islam untuk menyerap perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan (IPTEK) meskipun bukan produk peradaban Islam. Oleh karena itu pula Soekarno sangat menentang kultur taklid dalam umat Islam. Taqlid merupakan pola pengajaran agama Islam tanpa referensi yang logis dan mudah dipahami.
“Taqlid adalah salah satu sebab yang terbesar dari kemunduran Islam sekarang ini. Semenjak ada aturan taqlid, disitulah kemunduran Islam cepat sekali. Tak heran! Dimana genius dirantai, dimana akal fikiran diterungku, disitulah datang kematian.”
Pandangan Soekarno tersebut mencerminkan sikap Soekarno yang tidak ‘mengharamkan’ produk kebudayaan modern seperti IPTEK yang notabene ‘lahir’ dari masyarakat non-Islam atau yang sering disebut sebagian umat Islam sebagai masyarakat ‘kafir’. Soekarno berpandangan bila hal itu baik bagi kemajuan umat Islam, maka tak ada salahnya diadopsi, meskipun tanpa menanggalkan sikap kritis umat Islam tentunya.