Mohon tunggu...
sang pengamat
sang pengamat Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Siapa Pahlawan APBN Sebenarnya? Benarkah Orang Pajak?

10 April 2015   16:29 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:17 3161
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Siapa Pahlawan APBN Sebenarnya? Benarkah Orang Pajak?

Oleh : Sang Pengamat APBN

APBN negara kita sebagian besar dibiayai oleh penerimaan perpajakan. Target untuk tahun 2015 ini total hampir Rp 1.500 trilyun. Sangat besar. Naiknya tunjangan pegawai Direktorat Jenderal Pajak (DJP) yang sangat fantastis baru-baru ini secara logika menjadi wajar karena bertanggung jawab mencari duit Rp 1.500 triliun tersebut. Logika manajemen membenarkan, siapa yang mendatangkan uang paling banyak dia berhak mendapatkan bayaran paling tinggi. Cristiano Ronaldo yang mendatangkan penonton dan penjualan jersey paling banyak, berhak mendapat gaji paling tinggi. Seorang pemangkas rumput di Real Madrid jelas berhak mendapatkan gaji, tetapi tentu tidak setinggi Ronaldo. Semua ada proporsinya.

Dengan tercapainya penerimaan negara Rp 1.500 trilyun tersebut diharapkan gaji aparatur negara lainnya termasuk guru-guru, PNS Pemda, anggota KPK, TNI, serta Polri akan ikut terdongkrak. Pengangguran dapat dientaskan dan gaji buruh dengan perbaikan ekonomi juga dapat dinaikkan. Mutu pendidikan, layanan kesehatan, keamanan hingga pemberantasan korupsi bisa dinaikkan. Negara kita memang membutuhkan penerimaan negara yang besar agar bisa maju layaknya Singapura.

Hanya saja, benarkah duit Rp 1.500 trilyun tersebut benar-benar dikumpulkan oleh DJP ?? Sehingga mereka menjadi satu-satunya instansi yang berhak mendapatkan tunjangan paling tinggi ??

Di sini saya ingin membuka mata yang selama ini tertutup, dan membangunkan orang yang selama ini tidur panjang. Banyak informasi yang berlebihan dan juga informasi yang sepotong. Al hasil banyak pengguna informasi yang salah mengambil keputusan dan sudah barang tentu keadilan yang dikorbankan.

Selama ini pihak DJP berkoar-koar meminta kenaikan tunjangan dan mengancam akan memisahkan diri dari Kementerian Keuangan (Kemenkeu) apabila tunjangan itu tidak dinaikkan. Padahal selama ini mereka sudah menikmati tunjangan rahasia yang besarnya sudah signifikan daripegawai Kemenkeu yang lain. Lebih tinggi dari Bea Cukai, Perbendaharaan, Anggaran, Badan Kebijakan Fiskal, dan lainnya. Sekarang, dengan tunjangan terbaru, mereka melesat lebih tinggi lagi dari pada “teman-temannya” satu kementerian tadi. Pembentukan opini di media massa, pendekatan intensif ke parlemen, serta gerakan lainnya, ditambah momen terpilihnya Presiden baru yang kalem ini, membuahkan hasil. Publik digiring persepsinya seakan-akan merekalah pahlawan APBN negara ini. Bahkan pegawai Kemenkeu yang lain, termasuk Menterinya, seakan tidak punya andil dalam penerimaan APBN.

Tunjangan Kinerja (Tukin) pegawai DJP akhirnya meroket habis. Naik hingga 250%. Tukin pegawai eselon IV DJP (semacam kepala seksi) kini setara dengan tukin pejabat eselon II temannya satu kementerian. Ini ibarat tunjangan Kapten di TNI AU naik setara dengan tunjangan Brigadir Jenderal di TNI AD. Tentu menimbulkan rasa ketidakadilan. Jika tukin dianggap merupakan wujud representasi dari tingkat resiko dan tanggung jawab kerja, maka dapat dikatakan bahwa pejabat eselon II Bea Cukai resiko dan tanggungjawabnya tidak lebih tinggi dari pejabat eselon IV DJP. Ibarat tanggung jawab seorang Kapolda tidak lebih tinggi dari seorang Kasatlantas di Polres. Kenaikan sepihak ini akan menimbulkan disharmoni di internal Kemenkeu. Tinggal tunggu waktu saja. Andaipun tahun depan DJP memisahkan diri dari Kemenkeu dan membentuk Badan Penerimaan Perpajakan langsung di bawah Presiden, kepergiannya dari Kemenkeu tetap tidak indah. Sejarah sudah terlanjur kelam dan pemisahan itu hanya memperburuk situasi. Presiden akan dianggap lemah dan dengan seenaknya disetir oleh DJP. Disharmoni di internal Kemenkeu harus diredam segera.

Anehnya masih ada pegawai kroco di DJP yang tidak bersyukur atas kenaikan ini. Gila nggak , man?? Kerjanya cuma nungguin SPT di Mall-mall saja mengatakan tunjangan belasan juta masih tidak layak?? Mengatakan kenaikan itu hanya menguntungkan pejabat lah dan seterusnya. Padahal pegawai berpangkat paling rendah di DJP sekarang ini tunjangannya masih lebih tinggi dari pejabat eselon V di Bea Cukai. Sungguh sikap “pahlawan APBN” yang “ksatria”.

Tentu menjadi suatu pertanyaan tersendiri bagi kita alasan apa yang begitu hebat sehingga DJP bak makhluk super istimewa sehingga oleh presiden layak mendapatkan tukin yang fantastis. Apakah benar secara AKTUAL/FAKTUAL dilapangan?? Berikut akan saya analisa kebenarannya. Semoga anda semua dapat menerima informasi yang benar sehingga negara ini tidak mengalami kemalangan.

SESAT PIKIR BERMULA DARI KATEGORI DI APBN

Penerimaan perpajakan dalam APBN terdiri dari 2 kategori yaitu Penerimaan Pajak Dalam Negeri dan Penerimaan Pajak Perdagangan Internasional. Pajak Dalam Negeri terdiri dari Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), Cukai, PBB, BPHTB, bea meterai, serta lainnya. Sementara Pajak Perdagangan Internasional berupa Bea Masuk atas barang impor dan Bea Keluar atas barang ekspor.

Orang awam mengira Pajak Dalam Negeri dipungut oleh DJP sementara Pajak Perdagangan Internasional oleh Bea Cukai. Tentu saja ini salah. Llau, di APBN dikatakan Bea Cukai memungut Pajak Perdagangan Internasional serta sebagian Pajak Dalam Negeri berupa Cukai. Ternyata ini juga salah. Orang awam dan penyusun kata-kata di APBN ternyata masih terjebak dalam kesesatan berpikir. Yang tidak banyak diketahui publik adalah fakta bahwa ada bagian lain dalam kategori Pajak Dalam Negeri yang juga dipungut oleh Bea Cukai, selain Cukai. Resiko salah pemungutan bagian lain tersebut ada di Bea Cukai, jumlah bagian lain tersebut signifikan, tetapi bagian lain itu diklaim dan diakui oleh negara sebagai hasil kerja DJP. Bagian lain itu adalah pajak-pajak impor.

Pajak-pajak impor adalah pajak yang dikenakan kepada importir atas importasi barang yang masuk ke Indonesia DI SAMPING pungutan bea masuk. Pajak-pajak impor dapat meliputi PPh Impor, PPN Impor, dan PPnBM Impor. Sehingga atas satu barang impor dapat dikenakan pungutan yang meliputi bea masuk, DITAMBAH pajak impor berupa PPN Impor, PPh Impor, dan PPnBM Impor. Semua pungutan tersebut dikenakan dalam satu proses sekaligus dan dalam satu dokumen tagihan. Sayangnya dalam APBN, ketiganya dilebur dalam kategori PPN, PPh, dan PPnBM dalam negeri.

Prosesnya importir menghitung sendiri bea masuk dan pajak impornya, lalu dokumen didaftarkan ke kantor Bea Cukai. Jika importir memberitahukan nilai impor lebih rendah dari seharusnya, maka besaran bea masuk dan pajak impor yang masuk kas negara juga akan kecil. Di sini dokumen akan diverifikasi oleh petugas Bea Cukai. Jika kedapatan kurang bayar, maka kekurangannya akan ditagih oleh Bea Cukai ke importir. Misalnya importir memberitahukan nilai impor Rp 100 juta, maka PPN Impor yang dia bayar Rp 10 juta (10%). Lalu setelah diverifikasi oleh petugas Bea Cukai ternyata nilai impor yang seharusnya adalah Rp 750 juta, maka PPN Impor yang seharusnya juga Rp 75 juta akan ditagih kekurangannya oleh Bea Cukai. Di sini keahlian dan ketelitian petugas Bea Cukai diperlukan. Bagaimana menyelamatkan penerimaan negara yang tadinya cuma mau dibayarkan Rp 10 juta menjadi yang sebenarnya yaitu Rp 75 juta. Itu hanya satu contoh dengan angka yang sangat dikecilkan dari ribuan kejadian sebenarnya. Ketika audit Bea Cukai yang pastinya dilakukan oleh Bea Cukai kedapatan kurang bayar pajak impornya, juga akan ditagih oleh Bea Cukai. Kalau tidak dibayar sampai jatuh tempo juga akan ditegur oleh Bea Cukai, surat paksa oleh Bea Cukai, hingga disita oleh juru sita Bea Cukai. Ketika importir keberatan, maka keberatan juga diproses di Bea Cukai. Jika importir mengajukan tuntutan ke Pengadilan Pajak yang akan menghadapi juga Bea Cukai. Jika importir merasa disewenang-wenangi, yang akan dia laporkan ke polisi juga pejabat Bea Cukai. Semua tanggung jawab dan risiko ada di Bea Cukai. Tapi setelah duit pajak impor tersebut masuk ke kas negara, kenapa tidak dianggap sebagai hasil kerja Bea Cukai? Kenapa justru dianggap sebagai hasil kerja DJP yang dalam proses di atas, sama sekali tidak berperan ?? Apa hanya karena pajak impor itu bernama “pajak” maka harus menjadi hasil kerja Direktorat Jenderal Pajak ??

Mari kita semua berpikir.

Jumlah pajak impor sendiri signifikan. Tahun 2014 yang lalu, PPN Impor sekitar Rp 152 trilyun, PPh Impor Rp 39 triliun, dan PPnBM Impor Rp 5 trilyun, atau total ketiganya Rp 197 trilyun. Maka bagian kerja Bea Cukai di kategori Pajak Dalam Negeri adalah Rp 197 trilyun ditambah Cukai Rp 118 trilyun SEHARUSNYA sebesar Rp 315 trilyun. Ditambah bea masuk dan bea keluar sebesar Rp 43 trilyun maka uang negara yang dihasilkan oleh Bea Cukai tahun 2014 kemarin sebenarnya adalah Rp 358 trilyun, atau sekitar 30% dari total penerimaan perpajakan tahun 2014 yang sebesar Rp 1.146 trilyun.

Seharusnya DJP hanya berhak mengklaim hasil kerjanya sebesar sisanya yaitu Rp 1.146 – Rp 358 = Rp 788 trilyun. Itupun di dalam Rp 788 trilyun tersebut masih termasuk Pajak Bumi dan Bangunan dan BPHTB yang sudah dipungut oleh Pemerintah Daerah. Dan juga masih termasuk PPN Hasil Tembakau yang lagi-lagi juga dipungut oleh Bea Cukai.

KONDISI SEKARANG (PAJAK-PAJAK IMPOR DI KLAIM SEPIHAK OLEH DJP)

(dalam rupiah)

Item

2012

2013

2014

Penerimaan pajak dalam negeri (di klaim penerimaan DJP atau seolah-olah penerimaan DJP)

980.518.133.319.319

1.077.306.679.558.270

1.102.781.328.242.120

Penerimaan pajak internasional (penerimaan bea cukai)

49.656.293.809.881

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun