Mohon tunggu...
Rekha Mahardika
Rekha Mahardika Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Aku! Bila sampai waktuku kumau semua orang kan memelukku, begtu juga kau...!

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Menerima Kritikan sebagai Ciri Manusia Berkarakter

2 Februari 2011   13:33 Diperbarui: 26 Juni 2015   08:57 385
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Menerima Kritikan sebagai Ciri Manusia Berkarakter

Khalifah Umar bin Abdul Aziz seperti biasanya, rutin tiap tahun mengundang para ulama dan para cendekiawan untuk datang ke istananya. Khalifah mengadakan rutinitas tersebut bukan tanpa alasan, ia mengundang orang-orang tersebut untuk meminta nasehat dan kritikan mengenai segala hal entah itu mengenai pemerintahan maupun pribadinya. Salah satu khalifah yang terkenal bijaksana dan dicintai rakyatnya itu tentu paham apa makna dari nasehat dan kritikan yang akan diterimanya.

Maka berbondong-bondonglah ulama dancendekiawan ke istana atas undangan khalifah. Dan ketika di dalam istana satu persatu diantara mereka bergiliran dan memberikan nasehat serta kritikan beragam kepada khalifah.

Ada yang mengingatkan khalifah untuk terus-teruslah mengingat Allah, ada yang mengingatkan untuk terus menuntut ilmu, dan nasehat-nasehat lainnya yang tentu bersifat membangun baik untuk diri khalifah sendiri maupun bagi rakyat umumnya.

Ketika undangan pemberi nasehat sudah hampir habis tiba-tiba saja datang seorang anak kecil menghadap khalifah. Tanpa tedeng aling-aling anak kecil tersebut lantas memberi nasehat kepada khalifah yang agung tersebut, “Ya Khalifah yang dirahmati Allah, takutlah selalu kepada Allah.”

Mendengar dirinya dinasehati oleh seorang anak kecil, muncullah sifat manusiawi sang khalifah. Dengan nada tinggi khalifah tersebut menjawab, “Siapa engkau gerangan anak kecil, berani-beraninya menasehati khalifah seperti aku?”

Lantas dengan pembawaan tenang anak kecil tersebut menjawab, “Ya khalifah yang dirahmati Allah...seandainya segala sesuatu dilihat dan ditentukan dari segi usia, tentu ada yang lebih pantas menduduki singgasana itu selain engkau!”

Mendapat jawaban tersebut, Khalifah Umar bin Abdul Aziz tersadarkan. Ia lantas mencium kening anak tersebut dan mengucapkan istigfar atas kelalaiannya.

Itulah pemimpin, itulah tauladan, itulah sosok yang benar-benar pantas untuk kita agungkan sebagai manusia yang secara intelek maupun karakter memang pantas menjadi seorang pemimpin. Bukan semacam para politikus kita yang senang mengumbar dan berbalas kritikan yang bersifat menjatuhkan dan mengalahkan. Bahkan dapat kita amati sendiri, bila salah satu politikus dalam berdebat sudah mulai tersudut karena memang argumentasi yang dikemukakannya begitu lemah, maka cara apapun akan ia utarakan meski harus menggunakan argumentasi kusir. Maka, mulailah debat kusir, debat berdasarkan subjektifitas dan asumsi belaka, bukan fakta.

Seorang ahli pendidikan mengatakan, pendidikan yang utama adalah membentuk manusia yang berkarakter dan memiliki intelektual serta tubuh yang sehat. Singkatnya, menyeimbangkan antara afektif, kognitif, dan psikomotor. Pendapat ahli pendidikan yang menempatkan karakter di posisi pertama itu sejalan dengan dengan cita-cita bangsa yang dapat kita kutip dari syair lagu Indonesia Raya, yang juga lebih mengutamakan pendidikan di bidang karakter lebih dahulu bukan intelek seperti dalam kutipan syair berikut:

...Bangunlah jiwanya bangunlah badannya...

Bukan

...Bangunlah badannya bangunlah jiwanya...

Bukan pula syair kaum hedonisme, matrealisme, dan kaum pencitraan yang melulu mementingkan intelek dan fisik belaka dengan melalaikan karakter:

...Bangunlah badannya bangunlah badannya...

Para pemimpin kita, tentu adalah orang-orang yang tidak diragukan kecerdasan dan pendidikan intelektualnya. Hal ini dibuktikan dengan pendidikan mereka yang minimal Strata-1. Namun tentu saja cerdas intelektual tidak cukup bila tanpa diikuti kecerdasan karakter. Hasilnya dapat kita lihat sekarang, banyak sekali peminpin daerah yang menjadi tersangka korupsi. Ironis. Barangkali sudah saatnya kita sekarang mengutamakan pendidikan berkarakter. Agar Indonesia yang kita idamkan sekain terwujud.

Dan syukurlah, saya mendengar pendidikan berkarakter tersebut sudah diinstrusikan oleh presiden dan sudah masuk pula dalam konstitusi RI. Tinggal pelaksanaan dan pematangannya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun