Mohon tunggu...
Kawe Shamudra
Kawe Shamudra Mohon Tunggu... wiraswasta -

seorang peladang yang di sela-sela kesibukannya mengolah lahan selalu menyempatkan menulis catatan harian. Saat ini sedang menulis buku "Silurah Desa Tua".

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Gus Nuh

11 Juni 2011   03:47 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:38 718
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

“Tujuan saya menulis buku, kalau saya mati bisa meninggalkan pesan untuk anak cucu....”

Itulah kalimat yang diucapkan Gus Nuh pada suatu malam September 2009. Dan pada Jumat 11 Desember 2009 Gus Nuh meninggal dunia secara mendadak. Malam Jumat masih mengikuti acara tahlilan di rumah tetangga, keesokan harinya dipanggil Yang Kuasa.

Kematian kadang menyimpan isyarat dan pesan tersirat. Seandainya Gus Nuh adalah tokoh ternama, kematiannya mungkin menjadi bahan sensasi publik. Gus Nuh hanya orang biasa yang hidup di desa yang sehari-hari aktif mengolah sebidang tanah milik keluarga. Yang membedakan Gus Nuh dengan para tetangganya adalah cara berpikir dan memandang kehidupan. Gus Nuh memandang hidup dari kacamata spiritual yang diyakininya bisa membawa manusia menuju pencerahan dan ketenteraman. Kesan ini saya tangkap lewat pengakuannya yang tulus, bahwa dirinya tidak mau menggunakan uang yang tak jelas asal-usulnya.

Sikap hati-hati tersebut barangkali didasari oleh pemahamannya tentang ajaran tasawuf yang dipelajari lewat gurunya. Saya jadi bertanya-tanya dalam hati siapa Gus Nuh sesungguhnya. Dari keterangan seorang tetangga, konon Gus Nuh dikenal sebagai tokoh spiritual. Ia mendirikan sebuah padepokan spiritual bernama “Bening Ati” dan memiliki puluhan murid setia. Saya tidak tahu persis apa kegiatan di padepokan ini.

Perkenalan saya dengan lelaki 40-an tahun itu terjadi secara kebetulan. Malam itu saya kehujanan sehabis mengikuti acara buka puasa bersama di Bandar, Batang. Saya melewati terowongan desa Gringgingsari dan berteduh di sana. Di atas terowongan itu berdiri sebuah masjid yang belum selesai dipugar . Namanya Al Karomah, masjid yang dibangun seorang wali di Jawa, Syeh Abdurrahman Sunan Kajoran, sekitar abad ke-7.

Baru saja memarkir kendaraan, tiba-tiba datang seorang lelaki berambut gondrong mengenakan sarung dan peci khas pengikut thariqah. Tubuhnya tegap dan wajahnya segar. Sorot matanya tajam. Dia mengajak jabat tangan dan berkenalan. “Panggil saya Nuh,” katanya. Dia mengaku sudah lama mengenal saya lewat tulisan di media cetak.

Kami lantas ngobrol kurang lebih satu jam ditemani sorot lampu remang-remang. Meskipun baru kenal, kami langsung akrab dan pembicaan berlangsung gayeng. Pertama kali Gus Nuh mengomentari sebuah tulisan saya yang dimuat majalah Alkisah terbitan Jakarta yang mengupas riwayat singkat Sunan Kajoran dengan masjid peninggalannya. Rupanya saat masih tinggal di daerah asalnya, Kendal, Gus Nuh sering membaca majalah itu. Dan ternyata dia termasuk murid setia Habib Luthfi, ulama kharismatik dari Pekalongan.

Saya tidak menanyakan latar belakang pendidikan Gus Nuh. Dia mengaku punya seorang guru yang menyuruhnya tinggal di Desa Gringgingsari. Pesan gurunya diikuti dan akhirnya dia menikahi putri salah seorang tokoh Gringgingsari dan dikaruniai dua anak. Gus Nuh mengaku banyak menerima wejangan dari mertuanya,terutama soal riwayat Syaikh Abdurrahman Sunan Kajoran. Dari mertuanya itulah Gus Nuh akhirnya sedikit banyak tahu siapa sesungguhnya Syaikh Abdurrahman, berikut mitos-mitos yang berkembang di masyarakat sekitar.

Dari ucapan-ucapannya bisa dinilai Gus Nuh termasuk orang yang suka membaca. Buktinya, saat diskusi tentang Sunan Kajoran, Gus Nuh sempat mengutip penjelasan dari buku-buku yang pernah dibaca di perpustakaan. Gus Nuh sempat menyebut sebuah judul buku karya De Graff (the Princes) yang menurutnya sebagian isinya menyinggung keberadaan Sunan Kajoran.

Pandangan-pandangannya mengenai sosok Sunan Kajoran cukup Kritis. Gus Nuh juga sempat menyinggung sejumlah situs peninggalan Sunan Kajoran yang menyimpan pesan-pesan filosofis, yakni Watu Limo di Desa Sodong, bersebelahan dengan Gringgingsari. “Watu Limo adalah sebuah pesan agar kita menjaga shalat lima waktu, bisa sebuah peringatan agar kita menjauhi molimo. Bahkan bisa diartikan sebagai Pancasila,” kata Gus Nuh.

Bahkan Gus Nuh mengaku sudah menulis sebuah buku tentang legenda dan kisah perjalanan Sunan Kajoran yang diberi judul “Sinar Kehidupan di Karangsirna” berdasarkan riset yang dilakukan selama beberapa tahun. Gus Nus yakin, legenda bisa dijadikan alat mendidik masyarakat agar mau menghargai nilai-nilai kearifan. Gus Nuh berusaha menggali nilai-nilai dan falsafah hidup yang diajarkan para wali.Dan berdasarkan analisanya (entah dengan dasar apa), Gus Nuh berpendapat bahwa Syeh Abdurrahman adalah sesepuhnya para wali di Jawa. Ia mencoba membuka pespektif sejarah baru dengan harapan bisa dijadikan bahan diskusi pakar sejarah.

Dan Gus Nuh berharap buku tersebut bisa diterbitkan. Dia juga bercita-cita mendirikan sebuah yayasan untuk memberdayakan masyarakat untuk meningkatkan minat baca warga desa. Gus Nuh bahkan bermimpi buku karyanya bisa dibaca masyarakat luas. “Saya tidak ingin membuat buku asal-asalan, kalau bisa yang dahsyat....” katanya bersemangat. “Buku itu masih dalam bentuk tulisan tangan dan masih saya simpan. Maksud saya menulis buku, kalau saya mati bisa meninggalkan pesan-pesan untuk anak cucu...” tambahnya.

Kalimat singkat itu kembali diucapkan kembali saat Gus Nuh bertandang ke rumah saya di sore hari, pertengahan November lalu. Gus Nuh kembali menegaskan soal rencana membuat buku legenda. Karena materinya menyangkut soal kehidupan wali, maka ia ingin berkonsultasi dahulu dengan Habib Luthfi. Ternyata hari itu adalah pertemuan saya dengan Gus Nuh yang terakhir. Jasadnya sudah berkalang tanah. Cita-citanya entah meresap kemana.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun