Mohon tunggu...
ioanes rakhmat
ioanes rakhmat Mohon Tunggu... Penulis - Science and culture observer

Our thoughts are fallible. We therefore should go on thinking from various perspectives. We will never arrive at final definitive truths. All truths are alive, and therefore give life, strength and joy for all.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Mendagri Tjahjo Kumolo, “Aku Tak Mau Mengikuti Genderang Kivlan Zen!”

7 Juni 2016   02:39 Diperbarui: 12 Juni 2016   15:24 1594
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

“Model” adalah suatu representasi  yang disederhanakan atas realitas apapun yang sebetulnya rumit dan pelik, supaya orang dapat mudah membayangkan, memahami, menjelaskan dan mendeskripsikan realitas ini, dan memprediksi akan ke mana dan bagaimana realitas ini bergerak ke depannya. Semua ilmu pengetahuan memerlukan model-model, termasuk sosiologi. Dalam fisika, misalnya, ada model komputer, model matematis, dan lain-lain.

Dalam sosiologi, seluk-beluk masyarakat yang sebetulnya rumit disederhanakan minimal dalam tiga model, yakni model konflik, model fungsionalisme struktural, dan model interaksi simbolik.

Berhubung dalam masyarakat Indonesia di hari-hari belakangan ini ada kalangan yang mengklaim diri kalangan “pembela Pancasila” yang dengan gencar “sedang memerangi” apa yang mereka sendiri persepsikan sebagai kalangan “PKI gaya baru” atau kalangan Marxis komunis, ada baiknya kita sekarang mengkaji dinamika sosiologis ini dari perspektif model-model sosiologis yang sedang bertarung.  

Dengan pas kita dapat melihat dinamika ini sebagai suatu pertarungan model konflik dengan model fungsionalisme struktural. Sederhana saja, kalangan Marxis menganut model sosiologis konflik; dan kalangan Pancasilais menerapkan model fungsionalisme struktural. Dua model ini berbeda.

Model konflik

Penganut model konflik memandang kehidupan sosial pada esensinya adalah suatu pertarungan berbagai kepentingan yang berujung konflik antargolongan. Para Marxis melihat konflik harus terjadi antara kelas pekerja dan para pemilik modal (baca: para kapitalis) jika kelas pekerja mau bebas dari eksploitasi. Menurut model Marxis ini, lewat eksploitasi kelas pekerja, para pemilik modal menjadikan para pekerja terasing dari produk yang mereka hasilkan, dan mengupayakan segala cara untuk mendapatkan keuntungan dan nilai plus yang sebesar-besarnya dari barang-barang yang dihasilkan kelas pekerja (mencakup kelas pekerja tangan dan kelas pekerja intelektual).

Para pekerja, dalam pandangan Marxis, diperlakukan hanya sebagai salah satu faktor mekanik dalam matarantai mesin-mesin dan sarana-sarana produksi barang-barang. Barang dan jasa yang dihasilkan kelas pekerja tidak punya nilai batiniah, tapi hanya nilai ekonomi yang dikuasai dan menjadi milik pemilik modal. Dus, dalam model Marxis, kelas pekerja dipandang pemilik modal tidak berhak ikut menentukan nilai-nilai produk karya tangan mereka sendiri. Alhasil, hubungan batiniah dan hubungan nilai-nilai (termasuk nilai ekonomi) dihilangkan antara pekerja dan barang-barang karya mereka dan jasa-jasa pelayanan mereka.

Terputusnya hubungan-hubungan tersebut dikenal sebagai alienasi (Jerman: Entfremdung) para pekerja dari barang-barang dan nilai-nilai yang telah mereka sendiri hasilkan. Alienasi juga terjadi pada diri pekerja ketika mereka diperlakukan sebagai sebuah faktor mekanik saja, atau sebagai sebuah barang, dan bukan sebagai manusia yang bermartabat. Dalam “value judgment” para Marxis, oleh para pemilik modal para pekerja telah diasingkan dari esensi diri mereka sebagai manusia yang sadar diri, dari kodrat kemanusiaan (Jerman: Gattungswesen) mereka.

Bagi para Marxis, alienasi itu terprogram, bukan cuma efek sampingan, lewat struktur sosial dan sistem ekonomi yang dibangun sepihak oleh para pemilik modal.

Sistem ekonomi dalam masyarakat industrialis kapitalis ini, menurut Marx, juga menimbulkan alienasi antara pekerja yang satu dan pekerja yang lain lewat sistem kerja yang mengharuskan mereka berkompetisi keras antar mereka sendiri demi mendapatkan upah yang makin tinggi.

Karena alienasi rangkap tiga itu, para pekerja tidak bisa ikut menentukan jenis dan jumlah barang yang diproduksi, nilai kultural dan nilai jualnya, dan tidak pernah bisa menjadi suatu komunitas yang memiliki posisi tawar-menawar sendiri yang kuat ketika berhadapan dengan para pemilik modal yang menguasai semua sarana-prasarana produksi dan modal. Ketika semua proses dan matarantai produksi dikendalikan mutlak oleh para pemilik modal, dari hulu hingga hilir, maka para pekerja tak berkutik. Saat upah pekerja, jenis produk, dan harga jual produk, besarnya laba, ditentukan mutlak oleh pemilik modal, dan esensi mereka sebagai manusia dianulir, dan mereka teralienasi satu sama lain, maka eksploitasi buruh muaranya. Eksploitasi pekerja ini struktural dan sistemik, dan akan langgeng selama semua kebijakan dunia usaha ditentukan mutlak para pemilik modal.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun