Mohon tunggu...
Ilalang Zaman
Ilalang Zaman Mohon Tunggu... -

Ilalang Zaman adalah band multigenre yang menuliskan lagu-lagu yang mengangkat permasalahan-permasalahan sosial. Antara lain, berhubungan dengan kritik terhadap media korporat (Persetan media, Jurnalis Palsu), common sense (Apa yang Kita Rayakan?), Penindasan (Sesaji Raja untuk Dewa Kapital?; Kalimantan; Palestina; Jangan Diam, Papua;), dan sebagainya.\r\n\r\nNama Ilalang Zaman dipilih karena ia dinilai merepresentasikan gagasan yang diusung para personelnya dalam lagu-lagu mereka. Seperti ilalang dalam arti sebenarnya (gulma bagi tanaman mapan), Ilalang Zaman pun beritikad untuk menjadi gulma bagi kemapanan di zaman mereka hidup.\r\n\r\nKini Ilalang Zaman tengah menggarap album indie perdananya.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Indie: Ekspresi Perlawanan terhadap Budaya Mainstream

27 Februari 2013   14:17 Diperbarui: 24 Juni 2015   17:36 2268
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Istilah “indie” muncul dari tabiat anak muda Inggris yang suka menyingkat kata. Indie merupakan singkatan dari kata “independent” (seperti “telly” untuk televisi). Konsep indie menjelma dalam banyak bentuk. Salah satu bentuk jelmaannya adalah musik (indie). Apakah indie itu? Apakah ia cukup didefinisikan sebagai independent (mandiri)? Jawabannya tidak. ”Sebenarnya indie adalah subkultur,” kata Arkham, salah satu anggota Common People, komunitas indiepop di Yogyakarta. Subkultur adalah sebuah kultur yang lebih kecil, yang lahir di dalam kultur yang lebih besar yang telah ada sebelumnya. Kultur kecil itu memiliki nilai-nilai dan norma-norma yang berlawanan dengan kultur besar tempatnya bernaung. Kultur yang lebih besar itu dapat kita sebut sebagai budaya mainstream. Dalam konteks musik, yang dimaksud dengan mainstreamadalah situasi ketika musik dikuasai oleh kepentingan industri dan menjadi komoditas industri, sedang masyarakat tidak mempermasalahkan situasi ini dan menganggap bahwa situasi tersebut merupakan hal yang lumrah. Pergerakan indie lahir dari latar belakang tersebut. Ia menjadi budaya alternatif (counter culture). Ideologi anti-mainstreamadalah nyawa utama pergerakan indie. Oleh karena nyawa pergerakan indie berada pada konternya terhadap budaya mainstream, band indie kemudian tidak cukup hanya didefinisikan sebagai band yang memproduksi musiknya secara swadaya.Kurang tepat juga bila indie hanya dimaknai sebagai salah satu genre musik semata. Jika dirunut dari sejarahnya, kemunculan pergerakan indie pertama kali di Inggris pada pertengahan 80-an merupakan satu kesatuan nilai-nilai ideologi, etos kerja, genre musik dan gaya hidup. Ketika band-band di bawah perusahaan rekaman besar (major label) mengkomersilkan lagu-lagu betemakan cinta, band-band indie cenderung menawarkan isu-isu seperti politik hingga feminisme. Di sinilah sebenarnya inti dari indie sebagai sebuah subkultur.Ini tidak berarti tema-tema cinta haram diangkat oleh musisi indie. Kalaupun mengangkat tema cinta, musisi indie akan membalutnya dengan musik yang berbeda dengan lagu-lagu cinta di televisi. Maka, sebuah band —meskipun merilis musiknya secaramandiri—bukanlah band indie jika masih mengulik musik yang setipe dengan pola-pola musik mainstream. Salah satu contoh perlawanan budaya mainstreamdari segi musik ditunjukkan oleh grup musik punk Sex Pistol. Pada masanya, grup ini mempropagandakananti-rock movement(gerakan anti-rock) untuk melawan citra musik rock– yang harus cadas dan gahar – yang sedang populer kala itu. Indie adalah derivat (turunan.red) dari punk. Ketika punk di akhir 70-an menjadi semakin mainstream, Johnny Rotten keluar dari Sex Pistols dan membentuk Public Image Limited yang menggabungkan punk dengan musik-musik yang kurang digemari seperti dub, reggae, bluegrass, dsb. Dari sini muncullah terminologi post-punk yang merupakan cikal bakal dari musik indie yang dalam perkembangannya akan terbagi menjadi indiepop dan indierock. Walaupun tidak diekspresikan dalam tempo yang menghentak cepat seperti dalam musik punk, namun indie adalah turunan punk karena beberapa kultur indie (seperti etos kerja Do It Yourself (lakukan sendiri.red) dan budaya fanzine) merupakan adaptasi dari kultur punk. Ya. Masih sejalan dengan punk, indie menganut ideologi Do It Yourself. “Jika  tidak ada yang mempublikasikan musik kami, ya buat label rekaman sendiri. Jika tidak ada yang meliput tentang kami, ya buat fanzine (buletin) sendiri,” tambah Arkham. Karena statusnya yang anti-mainstreamdan tidak mau berada di bawah kendali kepentingan industri musik, para aktivis musik indie cenderung merekam sendiri musik mereka dan memilih jalur distribusi alternatif yang disebut dengan distro (distribution outlet).Namun, konsep distro yang banyak dijumpai sekarang ini agaknya berbeda dengan konsep awal ketika tujuan utama distro adalah untuk mendistribusikan musik indie. “Itu (distro yang sekarang bertebaran.red) bukan distro, itu lebih mirip butik,” komentarArkham. “Pertengahan 90-an, yang saya kenal sebagai distro adalah emperan kaki lima yang standby di setiap gig(konser kecil.red) bawah tanah di kafe-kafe kecil Jakarta seperti Poster, GM2000, Iguana dan sebagainya,” lanjutnya. Musik indie mulai menemukan identitasnya sejak dirilisnya kaset kompilasi C86 di Inggris pada tahun 1986 yang berisi lagu-lagu berirama jangly popmilik grupmusik seperti The Pastels dan Primal Sceam. Sebelumnya, pada tahun 1981 juga pernah dirilis album serupa, yaitu C81. Namun, rupanya album tersebut belum terlalu menegaskan eksistensi musik indie karena aroma punk yang masih sangatdominan.Semenjak dirilisnya album kompilasi C86 tesebut, musik indie menjadi kian akrab di telinga para pendengar Inggris sehingga muncullah definisi musik indie yang sebenarnya.Di ranah indiepop, label yang paling berpengaruh adalah Sarah Records. Seperti halnya subgenre lain, indiememiliki jaringan kerja (networking) global yang kuat. “Saya pertama kali tahu Answer Sheet (band indie folk pop asal Yogyakarta) dari netlabel di Thailand,” tambah Arkham.Netlabel adalah cara mendistribusikan lagu lewat internet dalam bentuk rekaman digital. Model distribusi ini membuat band-band indie dapat berkembang dengan bebas tanpa harus mengkhawatirkan rivalitas (persaingan) pasar yang didominasi oleh perusahaan rekaman. Seorang penggemar musik indie akan merasa berada di dalam sebuah ikatan komunal ketika bertemu dengan penggemar lain danmendiskusikan sebuah isu yang diangkat oleh band indie favorit mereka.Di sini, semangat persaudaraan (spirit brotherhood) tersebut akan terasa dan terbentuklah sebuah status “cult” (istilah yang kiranya lebih cocok untuk mengganti kata eksklusivitas). Status cultini akan semakin terasa ketika seseorang benar-benar mendalami indie lengkap dengan perjuangan anti-mainstreamnya. Untuk mengerti musik indie secara lebih mendalam, para pendengar musik indie tidak cukup hanya berhenti pada sikap “fandom”, yaitu ketika seseorang hanya berhenti pada taraf “menikmati” musik sebuah band atau sikap“nge-fans” terhadap band tertentu.“Saya tertarik dengan seseorang ketika melihat orang itu memakai atribut band indie yang juga saya sukai, tapi saya akan jadi tidak tertarik jika ternyata dia tidak tahu apa-apa ketika saya ajak berdiskusi tentang isu yang diangkat oleh band indie tersebut,” kata Japra, anggota komunitas Common People yang lain. Popularitas atau ketenaran bukanlah orientasi dari band indie. Maka dari itu, mereka cenderung membatasi penggemar mereka dan tidak mau diekspos secara besar-besaran oleh media massa, apalagi berada di bawah kepentingan industri perusahaan rekaman. Kalaupunsebuah band indie memiliki banyak penggemar, itu hanya dipandang sebagai upah sampingan saja.Eksploitasi media massa dan pengaruh perusahaan rekaman dapat mengancam orientasi dan ideologi mereka. Jika sebuah band indie terseret arus mainstreamdan mengubah orientasinya pada penggemar, status culttersebut akan cenderung memudar. Di Indonesia, Indie sudah mendarat di Jakarta dan Bandung satu dekade silam. Beberapa tahun kemudian, musik indie mulai melebarkan sayap ke beberapa kota seperti Bogor, Surabaya, Malang, Semarang, Purwokerto, Solo, hingga Yogyakarta. Kemunculan dan perkembangan band-band indie di kota-kota tersebut ditandai dengan munculnya komunitas-komunitas musik indie, seperti Young Offender di Jakarta dan Space City di Surabaya.  Selain di kedua kota tersebut, di Yogyakarta terdapat komunitas Common People. Komunitas ini merangkul seluruh penikmat, penggemar, atau aktivis musi kindie di seluruh Yogyakarta. Adalah beberapa mahasiswa yang pada 1999 secara rutin berkumpul di Gelanggang Universitas Gajah Mada yang merintis terbentuknya komunitas yang telah melahirkan beberapa band indie ini. Secara berkala,komunitasinimenggelar gig yang biasa disebut dengan Garage Party sebagai wadah apresiasi musik-musikindie, khususnya musik besutan para anggotanya. Namun,tidak hanya lingkaran dalam anggota mereka saja yang berkontribusi, tidakjarang juga merekamenghadirkan band-band indie mancanegara,seperti Texas Panda dari Jepang dan Stellarium dari Singapura. Selainitu, acara ini juga bertujuan untuk mengumpulkan massa dan sebagai sarana berkumpul. Common People juga telah menghasilkan beberapa band indie yang cukup dikenal di kalangan penggemarnya seperti Lampu Kota, Bangkutaman, Dojihatori, The Monophones, Briliant at Beakfast, Strawberry’s Pop, Anggisluka, Nervous, Oh Nina, Paraparanoid, Answer Sheet dan lain sebagainya. Erda Kurniawan - Bassist Ilalang Zaman Tulisan ini pernah dibuat dalam Majalah Pers Mahasiswa Sanata Dharma, natas, Edisi 2011

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun