Mohon tunggu...
Encep Darusman
Encep Darusman Mohon Tunggu... -

Jadikan Indonesia Sebagai Negara Hukum Beradab

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Pengacara Hitam dan Mafia Peradilan

8 Mei 2014   13:17 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:44 295
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebelum memulai cerita ini, ada baiknya, dan siapa pun yang baca catatan ini tentu akan geleng-geleng sendiri.Catatan Mata Najwa yang kali ini berbentuk ayat-ayat. Ini dia isi dari Ayat-ayat unik ini :


  1. Satu orang pengacara bisa mendapat penghasilan lebih banyak daripada seribu perampok bersenjata.
  2. Agar terhindar dari ancaman pengacara, ironisnya anda perlu menyewa jasa, ya pengacara juga.
  3. Modal pengacara adalah tebar pesona, pandai merayu dan memainkan sandiwara penuh amarah.
  4. Jangan pernah mendebat pengacara, anda pasti kalah, lalu kehabisan semua harta benda.
  5. Masih lebih untung jadi tikus yang dimangsa kucing, daripada jadi klien yang dimangsa pengacara.
  6. Hanya ada dua profesi yang mampu mengubah warna putih atau sebaliknya, yakni pelukis dan pengacara.
  7. Apa syarat jadi pengacara hebat ? Bukan paham hukum, tapi cukup bersahabat erat dengan polisi, hakim dan jaksa.
  8. Pengacara telah merambah kemana-mana, ada yang jadi sekjen partai, banyak yang jadi anggota DPR, kolektor barang mewah, milyuner, bahkan bintang layer kaca.
  9. Meski markus pengacara ada dimana-mana, kita juga tak boleh hanyut dalam curiga. Karen di ujung sana masih ada pengacara yang bersahaja dan bukan mengejar uang semata.


Peneliti ICW, Febri Diansyah, Minggu (5/6/2011), di kantor ICW, Jakarta pernah mengungkapkan bahwa di dalam tahap persidangan, lanjutnya, pola mafia peradilan yang dilakukan yakni dengan penentuan majelis hakim favorit.  Febri mengungkapkan, perkara “basah” biasanya akan ditangani oleh ketua pengadilan negeri (PN) sebagai ketua majelis hakim.

Pola-pola itu dipraktekkan di dalam perkara 320 PN Jakarta Barat, dimana dalam perkara tersebut  ketua majelis hakim Amril, SH., M.Hum (sekarang mantan Ketua PN Jakarta Barat), kemudian karena masa jabatan selesai  ia digantikan majelis hakim baru susunan anggota adalah Sigit Hariyanto, SH. MH dan Julien Mamahit, SH serta Ketua Majelis Harijanto, SH, MH, yang sebelumnya dengan susunan majelis hakim Amril, SH., M.Hum, Harijanto, SH, MH, Sigit Hariyanto, SH. MH.

Kemudian peneliti ICW, Febri Diansyah mengatakan lagi, selanjutnya, panitera diminta menghubungi hakim tertentu yang bisa diajak kerja sama. Pengacara langsung bertemu dengan ketua PN untuk menentukan majelis hakim. Pada tahap ketiga yakni putusan, pola mafia peradilan yang dilakukan adalah dengan menegosiasi putusan. “Vonis dapat diatur langsung ke hakim,” tutur Febri.

Tak heran perilaku hakim menyidangkan perkara tersebut seperti tidak mempunyai etika professional dan jika memakai tesis berpikir peneliti ICW tersebut, dimana selama persidangan majelis hakim tersebut protektif banget, saking protektifnya sehingga salah seorang anggota Hakim di PN Jakarta Barat, Sigit Hariyanto, SH, MH, tertangkap tangan sedang memimpin sidang sambil menggunakan handycam, kemudian sidang tersebut ditutup tanpa ada agenda jadwal berikutnya, dan belum lagi manipulasi-manipulasi persidangan yang tidak dimasukkan didalam putusan tersebut, belum diungkapkan. Aneh !

Dan jika meminjam istilahnya Busyro Muqodas saat menjadi pimpinan ketua Komisi Yudisial, mereka memainkan pada teknis yudisial, seperti mengubah pertimbangan hukum tidak sesuai fakta,” Komisi Yudisial sendiri pernah mengakui ada sejumlah hakim yang menjadi bagian darimafia peradilan.

“Rekayasa seluruh proses persidangan dalam sidang maraton semua unsur disiapkan,” ucapnya. Febri mengatakan, hakim pun tak malu untuk meminta “uang capek” kepada klien jika kedudukan hukum kuat. Negosiasi lain yang diambil adalah terdakwa tidak perlu hadir saat pembacaan putusan karena semua sudah diurus pengacara.

Fenomena Itu juga terjadi di dalam perkara 320 PN Jakbar, saat pembacaaan putusan dimana kuasa hukum intinya tidak hadir di dalam persidangan kemudian digantikan pada saat itu juga dengan anak buahnya dengan surat kuasa substitusi. Pengacara inti adalah Manuarang Manalu dan Mangapul Sitorus merupakan kolega Taripar Simanjuntak (staf kantor hukum Rudy Lontoh).

Dalam hal ini, uang lagi-lagi berbicara. “Saat membuat putusan, hakim juga bisa melanggar batasan hukum minimal yang diatur undang-undang,” ujar Febri.

Analisi peneliti ICW tersebut tepat sekali, hal ini terjadi dimana majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Barat bukan saja tidak dan/ atau belum memeriksa secara seksama secara keliru dalam pertimbangan putusan, kenyataan majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Barat jugatidak jujur dimana saksi-saksi dibawah sumpah yang dihadirkan dimuka persidangan banyak dipotong keterangannnya sehingga menjadi suatu keterangan tidak utuh menimbulkan makna sangat berbeda

Inilah fenomena peradilan sudah seringkali menyakiti rasa keadilan. Begitu banyak fakta miring yang menggambarkan hal ini, Ditengah merosotnya citra dan moral hukum, praktek mafia peradilan justru menjalar dalam institusi penegak hokum. Gue bertanya pada diri sendiri, masih mungkinkah ada keadilan?

Lihat kelakuan hakim, "Peradilan sesat, Hakim disuap, tidak independen atau terjebak konspirasi".

Inilah yang sedang marak terjadi di wajah penegakan hukum Republik Indonesia yang semakin amburadul, banyaknya rekayasa kasus di ruang sidang, tidak sesuai prosedur dan sebagainya yang pada akhirnya masuk ke ranah peradilan sesat.

Kata  anggota Komisi Yudisial bhw "Hakim itu harus independen dan jujur. Kalau dia jujur maka dia tidak akan merugikan salah satu pihak kalau tidak jujur maka dia akan merugikan salah satu pihak. Di situlah pentinya bersikap jujur," kata Ibrahim di hadapan ratusan Mahasiswa Universitas Gorontalo di auditorium lantai 4 Gedung KY, Jakarta, Selasa (26/3).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun