Mohon tunggu...
Edy Priyono
Edy Priyono Mohon Tunggu... profesional -

Pekerja peneliti, juga sebagai konsultan individual untuk berbagai lembaga. Senang menulis, suka membaca. Semua tulisan di blog ini mencerminkan pendapat pribadi, tidak mewakili institusi apa pun.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Kisah dari Seorang Mantan Jendral Polisi

23 Juli 2010   04:47 Diperbarui: 26 Juni 2015   14:39 233
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mengamati kasus 'rekening jumbo'  yang diduga dimiliki oleh para petinggi (dan mantan petinggi) Polri, saya jadi ingat perbincangan dengan seorang kenalan di pertengahan menjelang akhir tahun 1990-an.  Beliau seorang pensiunan jendral polisi, saat itu sedang mengambil S-2 di PTIK (sebuah langkah yang sangat saya kagumi, terutama mengingat umur beliau), dan saya diminta untuk membantu pengumpulan data untuk penulisan tesisnya.  Kami bersama-sama melakukan observasi di Sekolah Polisi di Jawa Barat selama beberapa hari.  Pada kesempatan itu lah saya mendapatkan beberapa cerita, juga pandangan beliau tentang banyak hal, yang sedikit banyak akan membantu kita memahami mengapa pengusutan kasus rekening jumbo itu kelihatannya 'jalan di tempat'. Pertama soal kesejahteraan polisi.  Sang mantan jendral polisi itu, paling tidak hinggat saat itu, tidak punya rumah sendiri.  Beliau menempati rumah dinas di kawasan Kebayoran.  Ketika saya tanya mengapa tidak membeli rumah, jawabannya adalah sebuah pertanyaan:"Uang dari mana?" Sebuah jawaban singkat, tetapi sangat jelas memberi gambaran kepada kita tentang penghasilan dan kesejahteraan polisi waktu itu.  (Note: Saya beri tambahan "waktu itu", karena sudah ada upaya pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan TNI/Polri. Kabarnya uang lauk pauk mereka meningkat sangat signifikan).  Dan kita bisa menyimpulkan sendiri, kalau ada polisi yang kaya raya (apalagi dengan rekening bernilai ratusan milyar atau bahkan ada yang melebihi Rp 1 trilyun itu), apa kira-kira yang telah dilakukan oleh polisi-polisi tsb.  Sekitar 99,9999.. persen dapat dipastikan bahwa mereka mendapatkan uang itu dari atau melalui cara-cara yang tidak semestinya. Beliau juga menyampaikan opininya tentang kasus yang waktu itu sedang ramai, yaitu desakan untuk mengadili mantan Presiden Suharto.  Beliau bilang:"Kalau ada polisi yang bilang akan nangkap Pak Harto, dia pasti bohong!".  Lho, memangnya kenapa? Sang mantan jendral polisi itu kemudian menjelaskan kepada saya tentang pentingnya "senioritas" di tubuh ABRI (waktu itu belum ada pemisahan TNI dengan Polri).  Seorang jendral aktif masih sangat hormat kepada jendral purnawiraan yang merupakan seniornya.  Dan jangan lupa, kata beliau, Pak Harto itu bukan hanya jendral, tapi jendral bintang lima.  "Berapa orang jendral bintang lima di Indonesia, dik?" tanya beliau ke saya.  Saya tidak menjawab, tapi tahu bahwa jari sebelah tangan kita tak akan habis untuk menghitungnya.  Kalau berbicara "bagaimana seharusnya", mungkin mestinya tidak seperti itu.  Tapi kenyataan di lapangan, itulah yang terjadi hingga saat ini. Jadi, kalau kita melihat daftar nama 16 petinggi Polri yang diduga memiliki rekening gendut itu, di mana beberapa di antaranya merupakan jendral purnawirawan ex petinggi Polri, dan sebagian lainnya merupakan perwira tinggi yang masih aktif, kita pantas mempertanyakan keberanian Polri untuk mengusut dan menuntaskan kasus tsb.  Saya membayangkan, kalau hal itu diajukan kepada kenalan saya (sang mantan jendral polisi) itu, jawabannya mungkin sekali akan sama dengan komentar beliau terkait kasus Pak Harto:"Kalau ada yang bilang berani, pasti dia bohong!".. Banyak hal lain yang dituturkan beliau, termasuk kritik beliau bahwa pendidikan polisi terlalu "milteristik", rambu lalu lintas yang tidak komunikatif (terlalu banyak tulisan yang bikin bingung pengguna jalan), anggaran untuk Polri yang sangat minim (dibandingkan dengan TNI), dsb. Juga tentang polisi yang selalu menjawab "Siap!" untuk apa pun yang dikatakan senior atau komandannya.  Suatu ketika, beliau berbincang dengan seorang instruktur di sekolah polisi (yang seorang polisi juga, tentu saja), dan seperti biasa, instruktur itu berkali-kali menjawab "Siap!" di tengah pembicaraan.  Bukannya senang, sang mantan jendral polisi itu marah:"Diajak ngomong kok menyela 'siap..siap' terus.. Kamu ngerti ndak yang saya omongkan?!". Di sekolah polisi yang kami observasi itu pula kami mendengarkan keluhan Kepala Sekolah tentang rendahnya kualitas calon polisi.  Juga betapa susahnya meningkatkan kemampuan para taruna dalam waktu yang hanya beberapa bulan.  Hal itu diperparah oleh kenyataan bahwa sekolah polisi menjadi 'tempat buangan' bagi beberapa polisi bermasalah.  Polisi yang 'bandel' dibuang ke sekolah polisi untuk menjadi instruktur.  Tidak semua instruktur seperti itu, tentu saja. Tidak mengherankan, menurut penjelasn Kepala Sekolah, dari tiga indikator: fisik, intelijensia, dan sikap, diukur ketika siswa/taruna masuk dan ketika pendidikan selesai, yang menunjukkan peningkatan nyata hanya fisik saja. Hal lain yang tak bisa saya lupakan adalah keluhan seorang instruktur: "Kepala Sekolah yang sekarang payah".  Ketika saya kejar dengan pertanyaan tentang apa yang dimaksud dengan 'payah', ternyata jawabannya adalah karena Kepala Sekolah tidak mau 'main uang'.  "Kita semua jadi susah," keluh sang instruktur. Ada beberapa hikmah yang saya petik dari interaksi saya dengan kenalan saya yang mantan jendral polisi itu.  Satu di antaranya, dan yang utama, adalah bahwa sebenarnya masih banyak polisi yang jujur dan amanah.  Polisi yang sadar betul akan pilihannya menjadi polisi, dan tidak mudah tergoda untuk 'menyimpang jalan' ketika dihadapkan pada masalah klasik: kesejahteraan.  Ini menjadi pelajaran bagi saya untuk tidak 'memukul rata' dalam menilai polisi. Sayangnya, polisi yang jujur dan amanah seperti itu jarang sekali yang kariernya sampai di 'puncak'.. Dan pasti, mereka tidak punya rekening jumbo...

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun