Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://web.facebook.com/PimediaPublishing/ WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

CMP 143: Gulai Kepala Kakap

28 April 2024   10:02 Diperbarui: 28 April 2024   11:29 72
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
lifestyle.okezone.com

Ada yang pernah bilang padaku jangan mati sebelum makan gulai kepala ikan kakap di Pantai Pariaman, dan aku rasa tidak ada yang menyadari betapa nyatanya bagian "mati" itu padaku.

Kalau kamu tumbuh besar di tengah-tengah Dataran Tinggi Gayo, Bukit Barisan, kamu tidak akan menyadari bahwa alergi ikan laut adalah suatu hal yang nyata. 

Kami tidak makan ikan laut. Hal yang paling mirip dengan makanan laut adalah ikan air tawar seperti gule bado - ikan sepat - yang kami pancing dari Danau Lut Tawar.

Aku tidak begitu ingat apa yang terjadi di saung pinggir  pantai Pariaman itu. Suatu saat aku dan teman-teman sedang duduk bersila di bawah atap ijuk dengan obrolan heboh dan aroma masakan yang menggoda, dan pelayan baru saja menurunkan cambung kepala kakap yang masih mengepul di depan kami. Menit berikutnya aku terbaring, nyaris tidak bisa merasakan wajahku. Menurutku, lapisan keringat itu juga bukan berasal dari lembapnya udara yang dihembuskan angin laut. Setelah itu, sekelilingku menjadi buram.

Dalam keadaan linglung, aku lebih khawatir terlihat konyol di depan pramusaji cantik daripada kenyataan bahwa aku sedang ditandu keluar dengan brankar.

***

Aku duduk, kecewa, di kamar rumah sakit. Ini jelas bukan perjalanan liburan yang aku dan teman kuliahku harapkan. Kami seharusnya menikmati keindahan alam dan budaya Minangkabau. Menikmati makan, melihat-lihat pemandangan, mungkin bertemu dengan gadis-gadis penari piring. Tapi di sini aku berhubungan langsung dengan berbagai mesin dan botol infus yang mencegahku mendapatkan syok anafilaksis* lagi.

Aku menguap sambil memainkan remote, membolak-balik saluran TV yang tergantung di langit-langit. Kelihatannya seperti TV tahun sembilan puluhan dengan desain kotak dan definisi standar, tapi setidaknya cocok dengan dekorasi dan furnitur ruangan. Agak menyesal juga menyuruh teman-teman untuk melanjutkan wisata liburan mereka meninggalkanku terkapar di sini.

"Permisi..."

Aku melirik ke arah pintu, berharap perawat datang untuk mengganti botol infus. Saat tatapanku tertuju pada gadis mungil berjilbab, aku terkejut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun