Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://web.facebook.com/PimediaPublishing/ WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Pria Berpenampilan Terhormat dengan Rambut Perak dan Kacamata Perak di Taman

19 April 2024   22:42 Diperbarui: 19 April 2024   22:52 50
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto ilustrasi: dok. pri. Ikhwanul Halim

Seorang pria berpenampilan terhormat dengan rambut perak dan kacamata berbingkai perak duduk di tengah bangku terpencil di bawah tudung pohon hijau berembun di musim kemarau pagi hari saat kereta bayi, pelari joging, dan mahasiswa melintasi taman. Beberapa terburu-buru, ada yang tidak. Banyak yang melakukan percakapan dengan ponsel. Di samping pria itu tas atase kulit berwarna cokelat dan kotak tanpa tutup dengan tulisan hitam '25IH' di sampingnya. Tidak ada yang berbicara dengannya. Dan dia juga tidak berbicara dengan siapa-siapa.

Busana yang dia kenakan salah musim. Mengenakan setelan bisnis biru tua dengan lengan panjang dan kancing manset, dan simpul dasinya belum dilonggarkan sedikit pun. Semua orang---pria dan wanita, tua dan muda---mengenakan pakaian seringkas mungkin untuk menghadapi kemarau tropis. Tubuh mereka terlindungi selama bulan-bulan musim hujan yang panjang dan pahit, kini terlihat jelas.

Pria itu tidak menaruh perhatian, matanya terkunci di tempatnya, menatap menembus semua orang dan segala sesuatu yang ada dalam sudut bidang penglihatannya.

Pada siang hari, beberapa pekerja kantoran di sekitar berjalan-jalan di taman dan memenuhi bangku-bangku, mengobrol tanpa henti kecuali untuk menikmati cangkir kopi atau roti lapis. Para mahasiswa berhamburan di rerumputan hijau yang tebal. Ransel, buku pelajaran, dan ponsel mereka berserakan di kaki telanjang mereka, berbicara dengan suara keras bersaing siapa yang paling nyaring tentang kelas yang baru saja selesai.

Setiap kelompok mandiri. Tidak ada seorang pun yang duduk di samping pria berambut perak dan berkacamata berbingkai perak. Dan darinya, tidak ada suara dan atau tanda-tanda perlunya untuk berada di tempat lain. Seperti patung, tapi tidak seperti patung yang lain. Dikelilingi oleh barikade logam, mereka berdiri seragam berwarna hitam, meskipun masih ada beberapa garis merah mencoreng.

Lalu lintas tidak pernah melambat sampai setelah jam kantor, dan kawasan taman elips di tengah kota ini seperti sebuah pulau yang terputus oleh arus kendaraan, yang menjaga jarak dari hutan kaca, baja, dan beton.

Di ujung utara, tugu obelisk untuk mengenang perang di masa lalu dan terlupakan, menandai penyeberangan pejalan kaki yang menghubungkan kampus timur dan barat. Pada hari-hari musim kemarau yang panjang, penerangan cukup baik selama 16 jam sehari, meskipun penyeberangan bisa berbahaya bagi pejalan kaki, bahkan di siang hari bolong.

Hingga matahari terbenam, lelaki itu belum bergerak. Belum bicara. Belum mengubah titik fokusnya.

Beberapa orang yang melakukan jogging dua kali sehari memperhatikan hal ini, namun mengabaikannya tanpa berpikir dua kali.

Jutaan orang di kota ini, dan semuanya tidak peduli. Itu normal.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun