Mohon tunggu...
Ali Romdhoni
Ali Romdhoni Mohon Tunggu... -

Peneliti. Penyair. Budayawan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kontekstualisasi Ajaran Kiai Madrais

18 Oktober 2012   00:59 Diperbarui: 24 Juni 2015   22:43 360
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13505218001463588641

Eksistensi Ajaran Madrais

[BAGIAN KETIGA]

Oleh ALI ROMDHONI MA

Para penganut ajaran Sunda Wiwitan tersebar di beberapa kota dan kabupaten di Jawa Barat, dan tidak menutup kemungkinan juga di Jawa Tengah dan jawa Timur serta D.I. Yogyakarta. Namun kegiatan ritual budaya dan keagamaan komunitas ini berpusat di Cigugur. Di tempat ini juga terdapat gedung Paseban Tri Panca Tunggal (TPT), semacam keraton yang berfungsi sebagai sentra kegiatan keagamaan, budaya, hingga berfungsi sebagai tempat belajar dalam menjalani kehidupan. Di gedung Paseban tinggal keluarga keturunan Madrais yang sekaligus menjadi pimpinan warga adat. Pangeran Jatikusuma adalah ketua warga adat dan penganut kepercayaan Sunda Wiwitan saat ini.

[caption id="attachment_218483" align="alignnone" width="448" caption="Kecapi dan suling mengiringi lagu-lagu khas daerah Sunda"][/caption]

Keberadaan Paseban Tri Panca Tunggal ini menjadi penting untuk melestarikan ajaran-ajaran yang telah ditanamkan para pendahulu. Ritual-ritual penting ajaran komunitas ini berlangsung di komplek paseban. Salah satu kegiatan tahunan yang digelar dengan cukup meriah dan melibatkan berbagai komunitas adalah upacara Seren Taun. Perhelatan ini dilakukan setahun sekali, dalam rangka menyongsong datangnya tahun baru Saka dalam hitungan kalender Jawa-Sunda. Motivasi pagelaran ini adalah mensyukuri nikmat dan karunia yang telah diberikan oleh Tuhan kepada kita semua. Di event ini masyarakat Cigugur bergotong-royong membawa hasil bumi mereka untuk diarak dalam satu episode pawai yang meriah.

Di komplek gedung Paseban TPT juga tinggal para penganut ajaran Sunda Wiwitan yang terdiri dari remaja, dewasa hingga orang tua. Mereka biasa disebut sebagai warga atau sawarga, yang berarti keluarga. Kepada saya Kang Gugum, panggilan akrab Gumirat, menjelaskan bahwa setiap manusia bersaudara. Mereka yang tinggal di Paseban menjadi satu kesatuan dalam keluarga. Ayah Kang Gugum, Pangeran Jatikusuma juga membangun sekolah menengah pertama (SMP) Trimulya sejak tahun 1958, sebagai tempat belajar warga Paseban TPT, yang juga dibuka umum.

Saya juga ngobrol dengan Wiwit (20), remaja puteri asal Garut yang tinggal di Paseban TPT. Lulusan sekolah menengah pertama yang sudah menguasai beberapa model gerakan tari ini mengenal Paseban TPT dari orang tuanya. “Di Paseban aku belajar banyak hal. Mulai dari kemandirian, kebersamaan, kerja keras, sampai seni tari-tarian tradisional,” demikian kepada saya Wiwit bercerita. Saya juga sempat berbincang dengan salah seorang pensiunan pegawai negeri sipil dari Majalengka. Maaf, saya lupa mencatat namanya, di samping menurut saya nama-nama yang digunakan hampir mirip-mirip. Yang jelas, dia mengaku seorang muslim. Untuk mengisi kegiatan pasca masa tugas, bapak tiga orang anak ini bergabung dengan warga Paseban TPT. Menurut dia, kegiatan yang dikembangkan komunitas adat di Cigugur ini sangat positif, mendalami ajaran leluhur, melestarikan budaya, dan menjalin persaudaraan.

Menurut Kento (65), ajaran Sunda Wiwitan memberi bimbingan kepada manusia supaya apa yang kita terima dihayati dan dimengerti. Dengan berupaya melaksanakan segala perbuatan sesuai dengan cara dan ciri manusia dan cara dan ciri bangsa, akan menjadi bekal utama. Bila sudah demikian, hidup di mana pun akan merasakan nyaman.

Meskipun demikian, perjalanan para penganut ajaran Sunda Wiwitan tidak selamanya mulus. Ada lembaran-lembaran kelas yang meninggalkan jejak trauma tersendiri bagi warga adat dan penganut ajaran Kiai Madrais. Salah seorang anak Jatikusuma, Gumirat Barna Alam harus beruusan dengan pengadilan Jakarta Timur pada 1997. Gumirat ingin menikah dengan cara adat dan ajaran yang mereka yakini. Namun saat itu kantor catatan sipil tidak mengizinkan, sampai akhirnya harus diselesaikan di meja hijau.

Kepada saya, Dewi Kanti pernah bercerita bahwa dirinya sudah lelah untuk menanggapi tudingan miring dan perlakukan tidak adil dari pihak-pihak tertentu. Para penganut ajaran Sunda Wiwitan sering menerima perlakuan buruk, dengan alasan bahwa ajaran Sunda kuno—yang sudah ada sebelum Islam diterima masyarakat Nusantara—itu sesat. Padahal, menurut Dewi, sebenarnya Sunda Wiwitan itu tradisi leluhur baik spiritual, muamalah maupun seni budaya yang secara turun temurun diwarisi oleh masyarakat di bumi Parahyangan. Pada era penjajahan ajaran ini direvitalisasi oleh Pangeran Madrais. Meski demikian, hingga hari ini ajaran ini belum diakui oleh negara. [bersambung: Menghadirkan…]

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun